Selasa, 18 Juni 2013

Tasik Kota Santri : Antara Modernisme dan Spiritualisme

Tasik dikenal sebagai kota santri. Itu dulu sebelum dimekarkan menjadi dua daerah otonom yaitu kabupaten induk Tasikmalaya dan daerah pemekarannya Kota Tasikmalaya. 

Identitas Tasik dari dulu terkenal dengan sebutan kota santri, sampa-sampai dipopulerkan dalam sebuah lagu yang dinyanyikan Group Qashidah Nasidaria dan juga diremix oleh penyanyi Anang Hermansyah dan Krisdayanti.

Suasana di kota santri
asyik senangkan hati
Suasana di kota santri
asyik senangkan hati
Tiap pagi dan sore hari
muda-mudi berbusana rapi
menyandang kitab suci
hilir-mudik silih berganti
pulang-pergi mengaji

Duhai Ayah Ibu
berikanlah izin daku
untuk menuntu ilmu
pergi ke rumah guru
mondok di kota santri
banyak ulama kiyai
tumpuan orang mengaji
Mengkaji ilmu agama
bermanfaat di dunia
menuju hidup bahagia

Mengapa Tasik di sebut dengan Kota Santri? karena di Tasik begitu banyak pondok pesantren, ada ratusan pesantren baik di kota maupun pelosok desanya.Tentu kalau banyak ponpes didalamnya ada banyak pula santrinya yang belajar ilmu agama dari sumber kitab kuning melalui metode ajar bandungan dan sorogan yang khas di lingkungan pesantren.

Karena banyaknya lembaga pendidikan pondok pesantren itulah, masyarakatnya pun dikenal religius, taat beragama dan patuh pada kalangan ajengan atau para ulamanya. Ulama menjadi rujukan, tempat bertanya dan minta nasihat dalam segala permasalahan kehidupan masyarakat, baik dalam hal hukum syariat agama,kehidupan rumah tangga, hingga kegalauan dalam kehidupan ekonomi dan juga termasuk kepentingan politk elit. Kehidupan keagamaan di Tasikmalaya memang begitu semarak, masyarakatnya terlihat religius dan taat beragama.

Tapi itu dulu,10-20 tahun yang lalu. Kini Kota dan Kabupaten Tasikmalaya sudah banyak berubah. Pesatnya globalisasi dan kemajuan teknologi, laju modernisme dalam berbagai sektor kehidupan, telah memaksa pola kehidupan sebagamana gambaran lagu suasana di Kota Santri itu ke pinggir. 

Sekarang pondok-pondok pesantren salafi berlomba memadukannya dengan mendirikan sekolah-sekolah umum di Pondok, entah mendirikan SMP,SMA, SMK bahkan perguruan tinggi. Hanya sedikit yang masih konsisten dengan pola pendidikan khas pesantren salafi.

Kehidupan masyarakatnya pun terutama di wilayah kota Tasikmalaya sudah mengalami gejala cultural shock (kekagetan/gegar budaya). Banyaknya fasilitas-fasilitas perbelanjaan modern seperti mall, supermarket, lengkap dengan sarana tempat hiburannya (karaoke,bioskop dll), membuat masyarakat menjadi hedonis, anak-anak mudanya seperti dimanjakan dengan fasilitas tongkrongan dan pergaulan bebas ala Barat. 

Setiap hari mal-mal penuh dengan mereka yang jalan-jalan dan berbelaja, jalan-jalan protokol kota seperti daerah alun-alun selalu padat dengan tongkrongan anak-anak motor dari berbagai group merk motor. Campur baur hingga larut malam. Berterbangan pulalah mereka yang dikenal sebagai kupu-kupu malam hingga ke dekat mesjid agung. "ayam-ayam kampus" berkeliaran yang bisa dengan mudah ditemukan di sekitar kost-kostan wilayah kota. Seks bebas sudah begitu merajalela. 

Mereka kalangan pelajar dan mahasiswa sudah tak lagi mempedulikan makna keperawanan dan kesucian. Sehingga berdasarkan sebuah penelitian yang dlakukan sebuah lembaga, lebih 30 % pelajar di Kota Tasik sudah pernah melakukan hubungan seks (tidak perawan lagi).Sungguh miris dan menyedihkan.

Lalu apakah tidak boleh Kota Tasikmalaya maju berkembang mengikuti irama zaman? Apakah terlarang Tasik dipenuhi dengan berbagai pusat perbelanjaan,pusat hiburan, hotel dan penginapan?. Kondisi perkembangan ekonomi dunia dan nasional, regional dan lokal kita tak bisa menolak perkembangan zaman. Berbagai simbol kemajuan ekonomi dalam wujud gedung-gedung pusat perbelanjaan,hotel-hotel berbintang adalah keniscayaan ketika sebuah kota dan masyarakatnya ingin maju secara eonomi.

Akan tetapi setiap keinginan untuk maju dan berkembang itu haruslah senantiasa membumi dengan akar budaya dan nilai-nilai lokalitas serta spirit religiusitas. Jika harus mengambil rumusnya, alangkah baiknya jika kita memperhatikan kaidah yang biasa diungkapkan oleh kalangan ulama Nahdlatul Ulama "Al muhaafadzatu alal qadiimish shalih wal akhdu biljadiidilashlaah" bahwa kita semestinya harus senantiasa menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

Begitupula dalam hal menyikapi potensi dan peluang mengikuti irama zaman. Saya mengambil contoh apa yang dilakukan group hotel berbintang yang mendirikan Hotel Santika di Kota Tasikmalaya misalnya. Hotel ini boleh dikatakan menjadi simbol prestisius pesatnya Kota Tasikmalaya, sampai-sampai hotel sekelas Hotel Santika bisa hadir di Kota Tasikmalaya. Namun dalam pengelolaannya Hotel Santika bisa menjaga dan memelihara muru'ah Kota Tasikmalaya sebagai kota santri,budaya dan kekhasan lokalitas Tasikmalaya juga dimunculkan. Berbagai karya lokal Tasik seperti kelom geulis,bordir, tikar, anyaman di displaykan menjadi sebuah produk yang bernilai dimata para tamunya yang menginap di Hotel tersebut.

Selain itu, kesan dan image Hotel berbintang tidak sampai melunturkan letak posisi hotel yang sangat dekat dengan Mesjid Agung Kota Tasikmalaya yang menjadi simbol religiusitas masyarakat Kota Tasikmalaya. Karena pihak Hotel Santika kelihatannya bisa mengikuti irama lokalitas masyarakat Kota Tasikmalaya yang religius dengan berbagai aktifitas yang mencerminkan charity terhadapkalangan anak-yatim, mustadhafiin dan kegiatan-kegiatan keagamaan warga di sekitar wilayah Hotel.

Contoh kecil ini tentu semestinya bisa diikuti oleh berbagai aktor economi modern lainnya baik yang bergerak dibidang jasa perdagangan maupun jasa pelayanan pembiayaan ekonomi masyarakat pada umumnya. Bahwa kemajuan itu tidaklah lantas harus membabat habis kearifan lokal masyarakat didalamnya.Tidak harus menghancurkan sendi-sendi moral dan agama masyarakatnya. 

Citra Kota Tasikmalaya sebagai kota santri dan masyarakatnya yang damai, santun, taat beragama serta ramah haruslah tetap dijaga dan dipelihara.Masyarakat juga harus terus diingatkan dan disadarkan untuk memahami arti pentingnya pendidikan di pondok pesantren, mendidik dan mengawasi putra-putrinya dalam hal pergaulannya. sehingga kemajuan material ekonomi harus berbanding lurus (linear) dengan kedalaman dan kekuatan mental spiritualnya. Wallahu A'lam.



Senin, 23 April 2012

Sarjana Pencari Kerja Vs. Lulusan SD Pemberi Kerja

Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan kemendiknas beberapa waktu lalu menyatakan bahwa saat ini banyak sarjana yang kesana kemari mencari pkerjaan, sementara banyak yang dulunya hanya lulusan sekolah dasar kini malah sukses mmenjadi entrepreneur dan pengusaha besar. Maka tak salah kiranya, apabila kesimpulan yang diambil dari kenyataan tersebut adalah bahwa perguruan tinggi hari ini hanya melahirkan sarjana-sarjana pencari kerja, yang kesiapannya hanya untuk sekedar menjadi PNS, karyawan dan orang gajian.
Memang menjadi fenomena yang sangat menarik, jika kita melihat fakta dan kenyataan di sekitar kita, bahwa banyak para pengusaha sukses di berbagai bidang, hanya menamatkan pendidikan SD saja, mereka adalah orang-orang yang berhasil menaklukan tantangan kehidupan dengan kegigihan, keuletan dan potensi otak kanannya. mereka kaya raya, harta berlimpah dan punya banyak puluhan, ratusan bahkan ribuan karyawan yang justru dari kalangan berpendidikan baik Sarjana, S2 bahkan S3.
Apakah memang target dan tujuan kita mengenyam pendidikan tinggi itu untuk menjadi PNS atau karyawan semata? Coba anda lihat ketika penerimaan CPNS diumumkan pemerintah, ratusan ribu pelamar yang rata-rata berpendidikan tinggi ikut mengirimkan lamaran dan beradu nasib mengkuti test, bahkan bila perlu mendekati kalangan pejabat negara, angota DPRD ataupun pejabat eksekutif dengan kesiapan uang puluhan hingga ratusan juta.
Coba kita saksikan pula jika ada event lowongan kerja semisal jobs fair, sebagaimana saat ini sedang dilakukan oleh Kompas, pengunjung begitu membludaknya, mengharap peruntungan ada lowongan yang pas dengan disiplin ilmunya dan mudah-mudahan dapat diterima oleh penyeleksi di lokasi.
Saya pernah merasakan suasana mental seperti itu, ketika menamatkan pendidikan sarja di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Kesana-kemari membawa alamat..jreng..jreng..eh salah, koq jadi ke lagu Ayu Tingting…hehe..Kesana kemari membawa amplop coklat, keluar masuk sekitar kompleks gedung di segitiga emas Jakarta, jalan Sudirman dan Kuningan hingga Gatot Subroto. Bahkan ke lingkungan pabrikan seputar Pulogadung, Sunter dan Tanjungpriok.
Semua dijalani dalam macet jalan-jalan Jakarta, berdesak diantara penumpang biskota berikut panas cuacanya. Semuanya hanya berakhir sampai tingkat wawancara. Hingga akhirnya saya menyambung hidup selama 4 tahun dengan mengajar di sekolah-sekolah dasar sekitar Kelurahan Jatipulo, Kotabambu Kecamatan Palmerah. Saat itu saya mengajar di 4 Sekolah Dasar dengan mata pelajaran Bahasa Inggris di kelas 4 sampai kelas 6.
Hingga ketika saya terpaksa harus pulang kampung, saya juga mulai disibukan dengan proses mengirimkan lamaran, kesana kemaaaari membawa amplop coklat besar…beberapa kali juga merasakan test dan wawancara. Memang sangatlah terasa, betapa opini umum masyarakat, bahwa saat kita mengenyam pendidikan tinggi, harusnya kita menjadi karyawan, baik di pemerintahan maupun di perusahaan swasta. Betapa sangat terhormatnya kedudukan seseorang ketika dia mampu bekerja sebagai seorang karyawan.
Tapi ternyata, sekali lagi fakta di lapangan, orang-orang yang sukses dan berhasil secara ekonomi, terjun berwirausaha, mereka lebih sejahtera, lebih memiliki ketangguhan dalam menaklukan tantangan kehidupan. Mereka bebas menjalani segala dengan merdeka. Dan mereka juga walaupun hanya lulusan SD justru memiliki anak buah para sarjana, lulusan perguruan tinggi itu digaji oleh orang yang hanya lulusan SD.
Untuk tulah, jika saja orang yang hanya lulusan SD saja mampu menciptakan pekerjaan, mampu memberi pekerjaan, memberi kehidupan pada orang lain, apakah para sarjana juga tidak bisa? Apakah memang lulusan perguruan tinggi itu sudah tersistemized dengan paradigma otak kiri yang harus rigid dan kaku dengan dunia kerja dengan waktu masuk dan keluar kantornya jelas, gaji bulanan yang diterima juga pasti segitu-gitunya?
Sementara mereka yang lulusan SD dapat menikmati keberlimpahan dalam kemerdekaan, dalam manajemen keuangan yang sepenuhnya ada dalam kendali dia. Dia bisa bebas menikmati uangnya, tanpa terbatasi kisaran angka UMR dan bonus lainnya, yang sangat mudah dihitung oleh orang lain pada umumnya.
Oleh karena itu wahai para sarjana, apakah kita mau kalah dengan mereka yang hanya lulusan SD semata. Apakah masih tertarik untuk terus mencari kerja dan kesana kemaaaarri membawa alamat..! eh amplop coklat? Ataukah kita akan taklukan tantangan kehidupan dengan menciptakan pekerjaan dan membangun kebebasan finansial, dengan membuka dan memaksimalkan potensi entreupreneurship yang ada di kita. Silahkan memilih, karena kehidupan hanya kita sendiri yang tahu dan menentukan arahnya.***
Kaki Gn. Galunggung Tasikmalaya, 24042012

Selasa, 28 Februari 2012

“You Are The Looser!”

Aku mengenalnya saat sama-sama mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh KODI DKI Jakarta di daerah Tanah Abang, satu tahun lamanya. Orangnya cantik, putih, keibuan dan cerdas. Bicaranya bernas dengan kemasan bahasa yang sederhana namun berisi. “Panggil saja namaku Ina” begitu dia pertama kali memperkenalkan diri. Dia orang seberang Sumatra bermarga Lubis. Di Jakarta sebenarnya dia sedang mengikuti kuliah di LIPIA di daerah Salemba. Sebuah lembaga yang takhassus dalam bidang kajian Islam dan Bahasa Arab. Sementara aku sendiri sedang menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi di daerah Ciputat Jakarta.
Pertemuan demi pertemuan di kelas kampus Tanah Abang ini, dan diskusi-diskusi ringan seputar keluarga, kampus, dan masalah agama cukup membuat  kami lebih dekat. Hingga suatu hari Aku memberanikan diri untuk mengantarkannya pulang ke sebuah perum di daerah Depok. Disana ia tinggal bersama kakaknya yang sudah bekerja di salah satu bank berplat merah. Perjalanan dalam biskota antara Tanah Abang dan Depok telah menyisakan sebuah asa yang ternyata diantara kami sama-sama merasakannya.
Jika abang percaya bahwa hati ini digerakkan oleh Tuhan, Mencintai atau membenci sekalipun, Aku takkan pernah bisa menolak takdir” begitu kalimat yang mengalir dari bibir mungilnya.
Abang hanya sedang bertanya pada Tuhan, dalam setiap menempelnya dahi ini di sajadah lusuhku, dimalam nan sepi, dalam tengadahnya tangan, Apakah kiranya rasaku ini DIA Ridloi?” Jawabku dalam suatu kesempatan berbincang.
Minggu depan, Umi akan datang ke Jakarta,  Jum’at sore kapal akan merapat di Pelabuhan Tanjungpriok, Ada sodara yang mau menikahkan anaknya. Jika Abang ada waktu, datanglah ke Umi, sekedar silaturrahmi. Ina sudah bicara banyak koq di telepon tentang Abang” ungkapnya dengan nada penuh harap. Sesaat aku sempat terdiam, membayangkan apa kira-kira kejadian yang akan terjadi jika aku datang berkunjung menemui Uminya yang jauh-jauh dari seberang sana.
Insya Allah Sabtu pagi abang akan berangkat dari rumah, menemui Umi” Jawabku. Di rumah pikiranku melayang-layang, aku berfikir keras pembicaraan dan sikap apa yang harus aku tunjukan jika Umi bertanya tentang aku dan kedekatanku dengan anaknya Ina.
Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat menuju Depok, selama dalam biskota, aku mencoba mengumpulkan kata, untuk kurangkai sebagai bahan pembicaraan dengan Umi nanti, ada rasa deg-degan, cemas dan waswas, karena baru kali itu aku harus bertemu dengan  ibu dari perempuan yang mengaku  mencintaiku, Sebagaimana aku pun mengungkapkan kalimat yang sama.
Akhirnya, Aku mampu mengatasi beban mentalku saat bertemu dengan Umi, beliau ternyata sangat ramah, dan nampak sekali kematangannya sebagai seorang Ibu. Suasana cair dengan penuh keakraban dan kekeluargaan sangat terasa. Aku bisa tertawa lepas dan tanpa beban sama sekali, karena Umi juga mewanti-wanti agar aku jangan segan. Terlihat rona bahagia dan senyum mengembang dari Ina. Dia menyaksikan bahwa aku kelihatannya mampu menaklukan Uminya. Dan tak ada tanya khusus dari umi seputar aku dengan Ina anaknya, Beliau hanya berujar “Nitip anak umi ya ananda…”
Hingga umi kembali lagi ke Medan hari Seninnya, Aku ikut mengantarkan hingga pelabuhan Tanjung Priok. Baru kali itu aku menginjak pelabuhan, masuk ke dalam kapal mengantarkan Umi dan barang-barang bawaannya. Ada keharuan juga saat umi berpelukan dengan Ina, dan beliau menatap padaku sambil berurai air mata, “Jagain Ina yaa Ananda..” kalimat itulah yang lagi-lagi keluar dari Umi, Aku mengangguk dengan penuh Ta’dhim, meyakinkan Umi. Pulangnya dari pelabuhan Aku sengaja ajak Ina main ke tempat tinggal saudaraku, tempat selama ini aku menitipkan hidup di Jakarta.
Bang..Ina ingin bicara, Sebenarnya umi bilang ke Ina, bahwa ada seorang pria datang ke rumah umi, minta Ina untuk jadi istrinya. Dia seorang dosen di salah satu perguruan tinggi disana, Umi sebenarnya datang kesini sekalian ingin bertanya pada Adik, bagaimana responnya. Kedatangan Abang, dan pertemuannya selama dua kali ini telah memberikan jawaban bagi Umi, sehingga umi pulang membawa jawaban tentang bagaimana sikap Ina” ungkapnya. Ada gurat kesedihan diwajah bersihnya. ” Tapi Ina bahagia melihat sikap aa pada Umi” katanya.
Aku hanya menarik nafas panjang. Aku sangat memahami perasaan yang bergejolak dalam hati Ina. Aku mengerti keinginannya, dan aku pun merasakan kebahagiaan yang tiada tara saat bisa sedemikian dekat dengan keluarganya.
Abang akan pulang ke Kampung, akan bicara dengan Ema disana..” kataku. Aku meyakinkan dia bahwa, Aku adalah sosok lelaki yang memang siap menjadi Imam dia. Menjadi pelabuhan terakhir cintanya, yang akan menjalani kebahagiaan hidup bersama, menaklukan Jakarta.
Aku dan Ina menjalani sebuah ikatan yang begitu mencerahkan, saat sama-sama menyelesaikan diklat di KODI Jakarta, kita menjalani hubungan jarak jauh, telpon dan surat terus mengalir. Bahkan hingga suatu saat Ina terpaksa harus pulang, karena Umi sakit.Aku mengantarnya hingga ke geladak kapal, Aku bahkan menunggu di pinggir dermaga, saat kepal mulai berlayar, dan lambaian tangannya pergi meninggalkan aku dalam keheningan sendiri. Ada rasa hampa, rasa kehilangan.
Saat dia di Medan sana, hubungan komunikasi kita masih sangat lancar dan intens, setiap hari aku selalu menanti tukang pos lewat, karena biasanya Ina berkirim surat dengan coretan-coretan pena yang begitu dalam. bahkan catatan perjalanan 2 hari tiga malamnya di kapal, dia  tuliskan dalam surat yang seminggu kemudian aku terima. Sangat menyentuh dan membuat aku tak dapat berkata apa-apa. Betapa dalamnya rasa cinta dia.
Dalam berseliwerannya suara, jutaan kata-kata yang ku tulis dalam kertas, dalam bentangan jarak yang memisahkan, Aku sampai pada suatu malam. Di Wartel langgananku, suara sendu di seberang sana, sudah hampir dua jam aku berbicara dengannya.
Ina mengabariku tentang semakin intens nya pria yang tempo hari itu datang ke rumah. Dia terus bertanya kapan akan menyebrang ke Sumatra, menjemput asa yang sudah menjadi janji bersama. Sementara dalam pikiranku juga verkecamuk ucapan Ema, pada suatu kesempatan aku bicara tentang kedekatanku dengan seorang perempuan Sumatra “Jangan jauh-jauh, nanti susah pulang“. Itulah mantra sakti dari Emakku.
Selama lebih dua jam pembicaraan kami, kalimat terakhir yang ku dengar dari suara telpon itu adalah ” You Are The Looser“. Itulah suara terakhir dari Ina gadis Sumatra, dan dengan kata-kata yang sama, juga esoknya aku baca dalam catatan panjang dari email yang dikirimkannya. Dan aku pun hanya diam, dalam kebisuan sikap.
Aku memang Pengecut..Tapi Aku tak mau menentang Ridlo Ibuku. Karena Ridlo Tuhan dalam Ridlo Orang Tua, Murka Tuhan juga dalam murka kedua orang tua. Apalagi Emakku, adalah “khalik” yang telah menciptakanku menjadi seorang “makhluk” bernama manusia.

Kenaikan BBM, Pemberian BLT, dan Recovery Demokrat

Presiden SBY sudah menyampaikan kabar saat dilangsungkannya Sidang Kabinet Paripurna kemarin perihal rencana kenaikan harga BBM. Besaran kenaikannya sekitar 500-1500 rupiah. Kebijakan ini dilakukan karena harga minyak mentah dunia yang mencapai angka 130 dollar per barrel, akibat dampak krisis di Suriah, Iran dan Timur Tengah pada umumnya serta krisis ekonomi yang melanda Eropa dan Amerika. Dan faktor meroketnya harga minyak dunia ini berakibat sangat memberatkan keuangan negara, karena dengan sendirinya beban subsidi menjadi sangat besar, dan  tentu akan membuat postur APBN menjadi tidak sehat.
Menaikan harga BBM dipastikan bukanlah kebijakan yang populer secara politik, dan itu disadari betul oleh pemerintah termasuk oleh Presiden SBY, karena hal tersebut pasti akan menimbulkan penolakan serta serangkaian aksi protes. Demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya akan pecah di berbagai daerah. Namun jika hal itu sudah di putuskan oleh pemerintah, rakyat hanya bisa pasrah. Menerima saja, sambil memikirkan cara untuk bisa menambah pendapatan, demi menyesuaikan diri dengan dampak ikutannya. Pengeluaran untuk resiko rumah tangga pasti bertambah, karena harga-harga sembako tanpa dikomando pasti aka ikut terkerek. Biaya transportasi pasti bertambah, karena ongkos angkutan otomatis naik juga.
Jika tak mampu menambah penghasilan, maka bentuk penyesuaian dirinya paling menurunkan kadar makanan yang kita makan. Apakah dengan mengurangi porsi makan atau merubah menu. Jika biasanya kita makan sehari 3 kali, maka jadi dua kali saja. Jika menu selama ini dengan daging dan telur, maka cukup saja dengan tahu tempe tiap hari, Jika selama ini pagi-pagi disuguhi susu hangat atau teh manis. Ya sekarang cukup segelas teh hangat saja tanpa gula. Jika sebelumnya kalau sakit bisa langsung ke dokter, ya sesudah kenaikan harga BBM cukup beli obat di warung saja.
Kenaikan BBM dan Pemberian BLT
Sebagaimana biasa, bahwa jika pemerintah berencana menaikan harga BBM, maka disiapkan pula skema penanggulangan dampak ikutannya, dan SBY juga sudah menyampaikan bahwa, anggaran yang tadinya digunakan untuk subsidi harga BBM, akan dialokasikan dalam bentuk pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau semisalnya. Hal ini untuk mengurangi dampak langsung bagi masyarakat kecil di tingkat bawah. Maka show up kemiskinan pun akan kembali dimulai. Rakyat akan kembali berbondong-bondong mengantri di kantor pos dan kantor Kecamatan. Rakyat akan berpesta dengan angka 300 rb per bulan, akan terjadi lagi saling tegang diantara masyarakat, akibat adanya yang diberi BLT dan yang tak mendapatkan.
Memang ada kriteria yang telah ditetapkan untuk menentukan siapa yang layak menerima BLT, namun kenyataan di lapangan terdapat juga hal-hal yang menimbulkan kerawanan sosial. Termasuk adanya permainan di tingkat RT, seperti banyak yang memasukan sanak keluarga RT yang sebenarnya tidak layak, tapi dimasukan oleh RT tersebut. Sementara warga yang sebenarnya layak menerima, malah tak mendapatkannya.
Selain itu, pemberian BLT juga menimbulkan kelonggaran ikatan “keguyuban dan gotong royong” warga, karena sering terjadi saat RT atau Kepala Dusun mengumumkan gerakan gotong royong membersihkan jalan atau selokan, banyak muncul komentar ” Suruh saja tuh warga yang dapat BLT..!”. Pemberian BLT memang membantu menghilangkan rasa sakit untuk sesaat, ibarat insulin. Rasa “sakit”  yang diderita rakyat akibat naiknya harga BBM, mencoba untuk dibiaskan, Padahal hal itu seakan menanamkan benih-benih kangker ganas dalam budaya sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Masyarakat seakan di didik untuk berjiwa tangan dibawah, senang diberi sesuatu yang instan dan pragmatis. Lebih senang di beri ikan, daripada diberi pancing. Tapi mau gimana lagi, tokh pola penanggulangan dampak kenaikan harga BBM itu dalam benak pemerintah salah satunya dengan pemberian BLT.
Pemberian BLT dan Upaya Recovery Demokrat?
Lalu, apakah pemberian BLT ini akan memberi dampak secara politis bagi Partai Demokrat sebagai the ruling party saat ini? Diakui atau tidak, bahwa kemunculan Demokrat, serta pergerakan dramatisnya pada pemilu 2009 sehingga berhasil menjadi pemenang, adalah tak dapat dilepaskan dari politik charity model BLT ini. Kombinasi pencitraan sosok SBY yang begitu gagah dan santun, dan terkesan di dzalimi oleh Megawati. Pada periode pertama Kepemimpinan SBY yaitu tahun 2004-2009, gerakan pemberian “IKAN” ini dilakukan secara massif dan effektif. Jualan pencitraan di media televisi dan surat kabar seputar klaim keberhasilan pembangunan ekonomi, dan sentuhan BLT dan sejenisnya, berhasil “membeli” rakyat di tingkat bawah. Sehingga meskipun secara faktual mesin partai Demokrat tak kelihatan, bahkan mungkin tidak ada, namun ternyata secara dramatis demokrat berhasil memenangkan pemilu baik legislatif maupun pilpres.
Kini setelah kondisi partai demokrat sedang meluncur ke level bawah, karena perilaku beberapa elitnya yang terindikasi tersangku dalam berbagai kasus korupsi dengan kualifikasi megaskandal. Bahkan beberapa petingginya sudah berstatus tersangka, yaitu mantan Bendahara Umumnya M. Nazarudin, dan Waseksen yang mantan puteri Indonesia Anggelina Sondakh dalam kasus suap pembangunan wisma atlet. sementara status tersangka mereka dikaitkan pula dengan dugaan keterlibatan peran Ketum Demokrat Anas Urbaningrum dalam hal penggelontoran dana suap proyek tersebut yang digunakan untuk pensuksesan AU dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung.
Hasil survei dari berbagai lembaga penelitian sudah menunjukan prosentase kehilangan suara partai Demokrat sekitar 7 persen. Posisinya kini di rebut oleh Partai Golkar dan  PDIP di urutan pertama dan kedua, sementara Demokrat melorot ke posisi ketiga. bahkan jika pemberitaan kasus-kasus korupsi yang melanda Demokrat terus diangkat oleh media cetak maupun elektronok serta media sosial lainnya, maka tak mustahil Demokrat akan habis dan tamat.
Oleh karena itulah, bagi saya kenaikan harga BBM itu disamping memang memiliki alasan-alasan yang rasional secara ekonomi, namun juga akan berdampak pula secara politik. SBY mungkin sudah kadong tidak populer dengan kondisi partai yang di binanya,  Tapi SBY memiliki keyakinan bahwa Rakyat Indonesia mudah lupa. meskipun harga BBM naik, harga-harga kebutuhan dasar lainnya ikut naik, ongkos angkutan naik, segalanya akan ikut naik, meskipun Demokrat sedang didera persoalan korupsi, namun dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) semuanya akan gone with the wind…rakyat Indonesia akan melupakannya.
Masyarakat Indonesia akan mengingat charity 300 ribu nya, apalagi jika program BLT ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, 1 tahun kedepan misalnya, maka memori dan perhatian rakyat akan tertuju pada kalimat ” Saya akan menerima uang 300 ribu sebulan, tanpa harus bekerja, dan itu karena kebaikan SBY“. Saya meyakini, bahwa saat kenaikan harga BBM diumumkan, saat program kompensasinya digulirkan, media televisi, dan koran akan dibombardir dengan iklan dari SBY. Karena hanya SBY yang mampu menaikan Partai Demokrat dalam singgasana pemenang pemilu. Sesudah berakhir pesona SBY, maka berakhirlah Demokrat.
Nggak percaya? Mari sama-sama kita buktikan..!

Poligami Tak Disenangi, Zina Dianggap Biasa

Saya menulis ini terus terang terinspirasi oleh tulisannya Mbak Icha Nors di Kompasiana berjudul “Nikah Muda Di Kecam, Zinah Dini Dibiarkan“. Tulisannya bagus dan inspiratif. Tulisan saya ini pasti tak disenangi para Ibu. Karena wanita mana yang rela untuk dimadu atau di poligami. Meskipun satu dua orang diantara sejuta perempuan mungkin ada. Sebagaimana seorang teman SMA saya yang seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di daerah Ciamis, dia sudah punya anak satu. Dia pernah berbicara pada saya dalam sebuah kesempatan reuni terbatas. Lalu diantara kita saling berbagi cerita seputar keluarga. Nah dalam keasyikan ngobrol itu dia nyerempet ke urusan poligami.
Man, laki gue kan kerjanya jauh di Kalimantan. pulangnya gak setiap bulan, kadang 6 bulan atau setahun sekali dia pulang, Tapi komunikasi via Telpon jalan terus, Gue pernah ngomong gini ama laki gue. Mas Karena mas jauh, jika mas punya niat untuk berpoligami, asal mas bicara pada saya, maka akan saya izinkan. Asalkan mas disana jangan melakukan Zina” begitu katanya. Saya sontak kaget mendengar obrolan dia. Koq Bisa?
Kalau orang mengimani sepenuhnya pada Al-Qur’an, maka dia harus menerima seutuhnya apa isi Al-Qur’an, jangan setengah-setengah, atau menerima sebagian dan menolak sebagiannya lagi. Bagi saya, masalah Poligami ini jelas ada penjelasannya dalam Al-Qur’an. Jadi bagi saya tidak ada masalah” bebernya. Nah lho saya semakin mengerutkan kening. ” Lalu bagaimana dengan urusan adilnya?” tanya saya.
Begini, Ibarat HP, jika seseorang sudah punya satu HP, lalu dia membeli lagi HP yang baru, maka otomatis dia akan lebih sering menggunakan HP barunya, wajar dia lebih sering mengusap-usap, bermain-main dengan HP baru tersebut, karena pasti memiliki tampilan baru yang lebih indah, menarik, dan fitur yang lebih lengkap daripada HP yang jadul” ungkapnya sambil ketawa. ” Lalu gimana urusan cintanya, otomatis kan cinta sang suami itu jadi terbagi dua, gak akan seratus persen lagi” Tanyaku lagi.
Kalau dia suami yang benar, bukan begitu membagi urusan cintanya, Bahwa saat dia sedang di istri pertama, seratus persen cintanya untuk dia, saat ke istri keduanya ya seratus persen juga cintanya. Asalkan sekali lagi dia mampu menafkahi lahir bathinnya saja, dan bisa membuatnya bahagia. Gue meskipun jauh, dan nafkah bathin jarang toh fine-fine aja koq. Karena sekalinya pulang, kan gue bisa habis-habisan ma dia” jelasnya, sambil tertawa lepas. Dan saya pun tak kuasa menahan tawa yang keras. ” Laki lo poligami sekarang, atau nikah lagi disana?” tanyaku penasaran.
Ya meskipun gue udah ngasih izin, kalo misalnya dia mau poligami disana, toch dia sampai sekarang gak berani nikah lagi. Dia malah bilang “Dik mas ngurus kamu satu aja belum sempurna koq, dan gak habis habis” katanya..hehehe” ungkapnya terkekeh.
Dari obrolan teman tadi, saya terus terang mendapatkan pencerahan tentang sesuatu yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan. Lalu saya sering ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman di kantor, dan banyak sekali informasi tentang fenomena “Suami” yang bermain di belakang istrinya. Lebih jelasnya mereka sering melakukan “Zina” di luaran. Bahkan saya sampai pada satu kesimpulan, bahwa mayoritas laki-laki senang berselingkuh, senang memiliki wanita simpanan lain, dan menganggap Zina sebagai sesuatu yang biasa. Naudzubillah.
Wajar lah lalaki mah bangor..asal ulah kanyahoan we! (Wajar Lelaki nakal, asal jangan ketahuan saja)” begitulah kira-kira mantra yang sering diungkapkan oleh mereka. Itulah fenomena “kebohongan” yang seolah dianggap sebagai sesuatu yang biasa.
Saya memiliki pandangan bahwa jika seorang lelaki bermain di belakang istrinya, maka pastilah dia akan senantiasa memelihara praktik kebohongan dalam setiap pembicaraan dan tindakannya. Dia akan berselingkuh dalam segala hal. Dalam berbicara, dia akan sering berbohong, saat enerima sms atau telpon dari “seseorang” diluar sana, lalu istrinya nanya misalnya ” Siapa mas?”, dia pasti akan menjawab ” Teman kantor, pa anu..” dan lain sebagainya. Dalam hal uang, dia juga pasti akan menyediakan alur kas pengeluaran lain untuk biaya operasionalnya bermain di luaran. Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang sekan memberi rasa aman dan cap “Biasa” dengan praktik seperti itulah.
Oleh karena itu, jika melihat fenomena seperti tersebut diatas, maka saya cenderung sepakat dengan sikap kawan SMA saya tadi dalam menyikapi persoalan poligami. Jangan terlalu paranoid dengan persoalan yang memang sudah sangat jelas secara hukum dan aturan mainnya. Apalagi kita meyakini Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seorang mukmin dan muslim. Pengingkaran terhadap pesan itu, adalah pengingkaran juga terhadap Al-Qur’an. Persoalannya adalah tergantung bagaimana seorang laki-laki memandang hukum poligami tersebut, tidaklah semata-mata karena kepentingan nafsu seksual semata, tapi memiliki dasar pijakan yang benar, logis, dan memenuhi prasyarat sebagaimana diperkenankan oleh hukum syari’at.
Karena saya seorang lelaki muslim, saya sangat memahami pandangan kawan saya tadi, dan sampai saat inipun saya tak pernah terpikir untuk berpoligami. Tapi saya bukan orang yang berpegang pada judul diatas ” Poligami Tak Disenangi, Zinah Dianggap Biasa”

Anak Sekolah Gaul, “Nge-Gank, Nongkrong, dan Bisingkan Knalpot Motor”

Jika Malam minggu datang, sepanjang jalan Otista dan sekitarnya, komplek ALun-Alun dan mesjid agung Tasikmalaya selalu dipenuhi berbagai group tongkrongan berbagai jenis dan merk motor. Samping kiri kanan jalan berjejer motor, sementara trotoarnya dipenuhi dengan para remaja yang rata-rata usia sekolah, SMP dan mayoritas SMA, laki-laki perempuan campur baur. Bahkan ada terselip juga anak-anak SD dengan tongkrongan sepeda BMX nya. Jalur itu ramainya bukan main, karena disela-selanya pedagang berbagai jajanan juga ikut mengadu peruntungan. Jika kita membawa kendaraan roda 4 ke arah itu pasti merayap perlahan, karena padatnya jalur jalan tersebut.
Saya sempat berfikir, gejala apa ini sebenarnya. Kota kecilku menjadi tempat pajangan motor begini. Yang paling meresahkan adalah, bahwa jika malam kian larut, group motor tersebut berkonvoi keliling kota. Mereka meraung-raungkan suara bising knalpotnya yang sudah di variasi. Beberapa tawuran antar gank motor maupun penyerangan gank motor terhadap perkampungan warga kerap terjadi, dan sempat memakan korban jiwa dan luka-luka. Aparat tinggal aparat, meski disiagakan pasukan dalmas di dekat pos tugu Adipura, namun rentetan kejadian memilukan dan meresahkan warga itu terus saja terjadi.
Inilah sepertinya gaya hidup remaja yang juga rata-rata anak sekolahan zaman sekarang. Mereka, karena berbagai serbuan budaya modernisme, tersedianya sokongan ekonomi keluarga, sementara perhatian keluarga yang kurang karena kesibukan ibu bapaknya bekerja, ditambah lagi derasnya perkembangan teknologi, karenanya mereka memiliki kesempatan untuk dapat berkomunikasi dengan Handphone, internet, dan perangkat media sosial lainnya. Mereka mudah berhimpun diri dalam sebuah ikatan kelompok, saling mengidentifikasi diri, saling curhat dan mencari pelarian bersama karena suasana broken home nya di keluarga.
Mereka senang bergerombol, mulai belajar merokok, berpakaian dan bergaya rambut yang aneh-aneh, memakai tindik di telinga, hidung, bibir bahkan lidah. Lebih jauhnya lagi mereka mulai coba-coba miras oplosan, narkoba, seks bebas dll, Itulah gaya yang menurut mereka dianggap sebagai sebuah model dan gaya hidup yang keren. Yang mencerminkan anak muda yang gaul dan funky.
Gaya hidup nge-gank, nongkrong bergerombol, berkonvoi kendaraan dengan raungan bising knalpot, seakan sudah menjadi trend umum di semua darah. Baik Kota-kota besar maupun pinggirannya. Sangatlah jauh berbeda, keadaan remaja kini dengan sepuluh tahun yang lalu misalnya, kalau dulu mesjid dan tempat mengaji masih dipenuhi oleh para remaja, usia sekolah SMP maupun SMA masih mau menuntut ilmu agama di malam hari, melalui majlis taklim di pesnatren, madrasah atau mesjid di dekat tempat tinggalnya. Kini perkembangan modernisme yang sedemikian pesat, derasnya arus pengaruh budaya barat, bejibunnya pusat-pusat perbelanjaan, mall dan supermarket, karaoke dan pusat keramaian publik lainnya, telah menyihir mereka untuk lebih banyak di dunia arus budaya pop dibandingkan melatih dan belajar diri dengan berbagai bekal keilmuan dan attitude masa depan.
Pesatnya teknologi, telah membuat para remaja dan anak-anak sekolah kita tercerabut dari dunia genuinitasnya sebagai anak bangsa. Facebook, twitter, gameonline, tayangan di televisi telah menyihir mereka menjadi anak muda dan remaja yang teralienasi dari keluhuran budaya orang tuanya. Sekolah seakan hanya berperan mencerdaskan intelektualnya semata, sementara moral, mental dan kecerdasan emosional serta spiritualnya tak tersentuh dengan baik. Kita lebih bangga dengan teori pengajaran dibanding dengan pendidikan. Mengajar membuat mereka pintar, tapi mendidik membuat mereka benar.
Selain itu, orang tua juga berperan melahirkan situasa kegagapan budaya seperti itu bagi anak-anak muda, mereka cenderung melupakan peran mendidiknya sebagai seorang ibu ataupun ayah bagi anak-anaknya. Mereka sekan berfikir bahwa tugas utamanya mencari nafkah, menyediakan kebutuhan ekonomi bagi anak-anaknya. Sementara perannya dalam berkomunikasi di rumah tidak mampu dilaksanakan secara maksimal. Mereka susah berperan sebagai pendengar yang baik, dari keluh kesah dan curhat anak-anaknya, mereka pembicara yang baik yang mengeluarkan banyak perintah dan larangan bagi anak-anaknya. Tanpa sentuhan ketulusan cinta dan kasih.
Anak Sekolah sekarang, gak gaul gak funky, gak nongkrong gak asyik, gak bisingkan knalpot motor nggak keren. gak nyoba narkoba, ndeso, nggak ngelakuin seks bebas, ketinggalan zaman. Apakah remaja tua kayak kita-kita ini, dan para orang tuanya akan diam membisu sajja? SEPERTINYA SEMUA KOMPONEN HARUS MELAKUKAN SESUATU. Pemerintah, aparat, orang tua, tokoh agama, praktisi pendidikan, Tak bolah diam, sama sekali.!

Berkantor Di Atas Gondola

Di samping kiri  jembatan Tomang Raya menuju arah Harmony terdapat sebuah gedung bertingkat, namanya Gedung Graha Sukanda Mulya. Letaknya persis berada di jalur putaran kolong Jembatan Tomang, yang jika kita mengambil arah kiri akan menembus ke daerah Tomang Banjir Kanal, jika memutar ke arah kanannya kembali ke arah Jl. Tomang raya menuju perempatan jalur tol Tangerang, Gatot Subroto dan Ke kanannya arah Taman Anggrek. Sementara jika pas puteran jalan dari Kolong ambil arah kanan akan menuju ke arah Kota Bambu, Slipi dan Tanah Abang.
Gedung Graha Sukanda Mulya ini adalah Gedung tempat pertama kali saya merasakan suasana kantor. Persis saat pertama kali gedung itu diresmikan penggunaannya, dengan beberapa perusahaan yang sudah mulai menyewa dan beraktifitas di gedung tersebut. Gedungnya berlantai 7 apa 9 ya, terus terang saya sudah agak lupa. Saya merasakan pengalaman ngantor disana selama hampir setahun.  Sekitar pertengahan Tahun 1996 saya masuk kesana dan berhenti pertengahan 1997.
Saya bukan bekerja dengan fasilitas meja lux, kursi empuk dan seperangkat media kerja elektronik seperti  komputer, laptop,  telpon atau fax. Alat kerja saya adalah Sapu, kemoceng, pengepel,  kain lap, penyemprot kaca, dan penarik airnya. Plus berbagai bahan kimia dan pengharum lainnya. Oh ya meja kerja paling pavoritku adalah Gondola. Sebuah rangka besi berukuran 1 x 1,5 M yang hanya muat untuk berdiri dua orang pegawai,  Gondola itu biasa bergelantungan diantara sisi-sisi gedung Depan, samping kiri kanan.
Mengapa Gondola ini menjadi “meja kerja” pavoritku. Ya karena dari ketinggian gedung itulah, saya dapat menyaksikan view Jakarta, bahkan dari gondola itulah selain dapat melihat para karyawan dalam gedung yang cantik-cantik, saya juga dapat sekali-kali mencuri pandang ke bawah, sekitar perkampungan padat penduduk. Ada banyak pemandangan indah namun juga ada yang memerihkan mata, pemandangan indahnya jika ada titik pemandian umum, suka ada yang sedikit asoyyy..heheh, sementara perihnya karena melihat bergelantungannya jemuran segala macem, plus lihat kesemrawutan tata ruangnya yang awut-awutan.
Meski “Meja Kerja” ku dianggap berbahaya, beresiko jiwa, meski terkadang merasakan panas yang menyengat, membakar kulit dan membanjirkan keringat, Tapi moment-moment itu sungguh menjadi pengalaman hidup yang tak dapat dilupakan. Meski dengan hanya bergaji mingguan, Jika datang hari Sabtu terasa cerahnya dunia kala itu, apalagi ada sesama pegawai korpsku, perempuan cantik berbody wah, yang ternyata menyimpan cinta. Rosalinda namanya. Yang sayang tuk ku tolak pesona dan godaan cintanya..hmmm.
Setengah tahun saya menjadi staff, setengah tahunnya lagi saya menjadi supervisor dengan 8 anak buah, 4 laki-laki dan 4 perempuan. Tanpa menghentikan aksiku bergelantungan di Gondola. Karena yang lain tak memiliki keberanian. Untungnya ada bayaran tambahan diluar honor biasanya sebagai petugas cleaning service.
Kini, jika saya melihat berita di televisi, tentang kecelakaan para petugas kebersihan gedung yang tali gondolanya putus dan jatuh, mereka meregang nyawa, mereka cacat dan banyak cerita mengerikan lainnya, saya hanya bisa menerawang ke belasan tahun yang lalu. Saat dimana keterpaksaan untuk bertahan hidup di kerasnya belantara Jakarta, menyatu dengan indahnya romantika cinta seorang petugas Gondola dan pembersih kaca.
Teriring do’a untuk teman-temanku pegawai Graha Sukanda Mulia, Daus, Opik, Rosalinda, Tita dll, semoga kalian berada dalam sebaik-baiknya kehidupan. Amien.