Minggu, 29 Januari 2012

Film "Tanda Tanya" Dan Indahnya Perbedaan

Seorang teman aktifis pergerakan mengajak saya menonton sebuah film yang katanya sangat bagus dan sayang dilewatkan. Atas nama kepenasaranan saya mengiyakan untuk nonton bareng. Sebelumnya memori saya memang menerawang pada segudang karya yang dihasilkan sang sutradara Hanung Bramantyo, sedikit dari sineas bertangan dingin yang dimiliki negeri ini, yang karya karyanya selalu memberikan warna tersendiri dan mencerahkan jiwa.
Dari judul filmnya saja, sudah memberikan ketertarikan tersendiri, “?” Tanda Tanya. Dalam sebuah wawancara di televisi, Hanung mempersilahkan penonton untuk memberikan judul sendiri. Terserah bagaimana penonton membaca dan menginterpretasikan setiap adegan dalam film tersebut. Dan memang film itu secara utuh menggambarkan sebuah pesan yang begitu mendalam dalam konteks realitas kehidupan kita sebagai sebuah bangsa yang “Bhineka Tunggal Ika” dengan balutan yang apik, menyentuh, dan berangkat dari realitas kesejarahan social yang terjadi akhir-akhir ini. Sehingga dalam sub judulnya muncul pertanyaan “Masih pentingkah kita untuk berbeda?” sebuah ungkapan protes betapa hari ini kita sudah mulai tak lagi menghargai realitas social yang berbeda, sudah tak lagi menghargai perbedaan, yang padahal itu menjadi kenyataan yang seharusnya menjadi rahmat, sebagaimana Rasul juga mengatakan “ikhtilaafu ummati rahmatun” bahwa perbedaan diantara ummatku adalah rahmat.

“Tanda Tanya” Membaca Realitas Sosial
Film “Tanda Tanya” mengambil latar sosial di wilayah Pasar Baru Semarang, entitas sosial kesukuan Jawa, Cina, latar belakang agama, Islam, konghucu, katolik, latar social ekonomi dan relasi komunikasi social antara sosok Keluarga Pemilik restoran Cina (Koko, istrinya, dan Fien Hen anaknya) dan para pegawainya yang notabene beragama Islam dengan karakter Menuk salah satunya yang diperankan Revalina S Temat. Situasi dalam restoran itu sendiri yang didalamnya menyediakan menu makanan babi dan non babi, perkakas masak yg terpisah, suasana kekeluargaan yang dijalankan, serta bebas menjalankan ibadah sholat.
Selain itu pula terdapat karakter peran yang kuat dijalankan oleh sosok Soleh suaminya Menuk yang pengangguran, merasa tak berdaya dan tak berguna ketika dihadapkan pada sutuasi bahwa yang menghidupi keluarganya adalah sang istri yang bekerja sebagai pelayan restoran cina tersebut, sementara anaknya si Koko memiliki sejarah Cinta dengan istrinya tersebut, Menuk memilih Soleh dibandingkan Fien Hen karena alasan bahwa Soleh taat beragama, sebuah alasan yang bagi Ko Hen tak bisa diterima dan membuatnya tak serius membantu Bapaknya mengelola restoran, lebih memilih hidup liar di luar serta selalu menunjukan sikap sinis dan kecewa pada Menuk dan Soleh suaminya.
Menarik juga tokoh anak bernama Abi dan mamahnya yang pindah agama dari Islam ke Katolik, pertentangan psikologis seorang anak kecil yang Islam dan mamahnya yang Katolik, juga sosok Lelaki yang terusir dari kost an karena 4 bulan menunggak, tinggal dimasjid dan selalu bermain dalam film hanya sebagai tokoh jahat atau hanya figuran semata, yang karena kedekatannya dengan sosok mamahnya Abi mendapatkan peran utama sebagai tokoh Yesus dalam drama yang dipentaskan di gereja, yang tentu dengan bayaran yang besar.
Kita dapat menyaksikan bagaimana perang bathin dalam setiap sequel cerita di dalamnya. Saat sosok mamahnya Abi dimintai pendapat tertulis untuk menjelaskan tentang Tuhan di gerekja oleh sang Romo, dia menulis “ Tuhan adalah ar Rahim maha pengasih, Ar-Rahman maha penyayang, al-Malik maha menguasai, al-Quddus, maha suci, as-Salam maha menyelamatkan, al-Muhaimin maha menjaga…dst” penjelasan tentang Tuhan di geraja yang justru di ambil dari al asma’ul husna dalam pemahaman keagamaan Islam yang tentu membuat jemaat gereja yang lain terheran-heran. Lalu bagaimana sosok teman lelaki mamahnya Abi (saya lupa nama dalam film itu..hehe), saat dia harus memerankan sosok Yesus dalam dramanya, dia begitu maksimal memerankan sosok Yesus dalam drama tersebut, dengan diiringi rintih bathin sesudahnya saat membaca surat Al-ikhlas di Mesjid tempatnya mmenitipkan malam. yang tentu pesannya bagi Muslim berkait dengan “Ke-Esa-an” Allah SWT.
Adegan lain yang menurut saya cukup dramatis adalah saat perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Natal. Saat Hari Raya Idul Fitri Si Koko Pemilik Restoran Cina selalu mengeluarkan kebijakan meliburkan selama lima hari, Tapi Si Fien Hen karena ke egoan saat mulai ikut terjun mengurus restoran akibat keadaan bapaknya yg sakit mengambil keputusan berbeda, hari kedua dia membuka restorannya, dan dipimpin Soleh Restoran itu diserbu massa, dirusak hingga hancur berantakan, kondisi ini membuat si Koko pemilik restoran sakitnya tambah parah hingga meninggal ikut terkena pukulan kayu Soleh yang notabene suaminya Menuk yang karyawan restoran itu, anaknya Si Fien Hen juga shock, sambil menangis dalam porak porandanya tempat usaha leluhurnya, dia menemukan buku Al-Asmaul Husna, dia menyadari mengapa bapaknya memiliki sikap toleransi yang begitu tinggi, baik dengan karyawannya yang mesti berbeda agama dan keyakinan, dalam tarikan nafasnya yang terakhir dia membisikan pada anaknya agar memilih Islam, dan si Fien Hen pun masuk Islam dan mengganti restorannya menjadi Restoran Cina Barokah yang halal.
  Dalam bagian lain diceritakan pula Soleh suaminya Menuk sudah mendapatkan “pekerjaan” sebagai anggota Banser (Barisan Anshor Serbaguna), saya cukup tersenyum juga saat Soleh dengan bangganya mengungkapkan hal itu, Soleh dengan gagahnya menggunakan seragam Banser yang dalam film itu dimunculkan tugasnya ikut berjaga dalam pengamanan perayaan natal di Gereja, meski dalam benaknya muncul pertanyaan dan didialogkan dengan sesama anggota Banser yang lain “Kenapa kita harus ikut menjaga gereja” dan dijawab bahwa tugas itupun merupakan tugas mulia yang merupakan Jihad kemanusiaan kita selaku muslim, setelahnya Islam banyak dikotori oleh peristiwa terror bom yang atas nama jihad. Sampai saat Soleh berjaga di Gereja menemukan kardus berisi bom dan dengan gagah dan yakinnya menunjukan arti dan maknanya bagi hidup dan kehidupan, dia meninggal bersama meledaknya bom itu dengan berucap “Laa Ilaaha Illallaah”.

Agama, Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Film ini ingin menunjukan bahwa betapa pentingnya kita saling menghormati dan menghargai. Betapa toleransi beragama itu menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam konteks hubungan sosial kita. Kita beragama sesuai keyakinan kita masing-masing, dan kita pun bisa tetap saling bekerjasama, saling memberikan nilai penghormatan yang akan menjamin terciptanya keharmonisan. Keharmonisan dalam kehidupan privat kita di rumah tangga, maupun keharmonisan dalam kehidupan komunal kita selaku warga bangsa.
Frame Toleransi dan kebangsaan yang ditunjukan sosok-sosok dalam film itu, termasuk pemunculan karakter muslim taat seorang Soleh melalui aktifitas Gerakan Pemuda Anshor melalui peran Bansernya yang selalu ikut andil menjaga keamanan dan kerukunan dalam konteks kemanusiaan menjadi kata kunci kita, bahwa berjihad dalam Islam melalui terror bom bunuh diri yang menghilangkan jiwa-jiwa tak berdosa, aksi-aksi pengrusakan, yang dilabeli “Islam” yang memiliki keyakinan “merasa benar di jalan yang sesat” kalau istilah sastrawan D. Zawawi Imran, yang menimbulkan ketakutan dan keresahan dikalangan sesame anak bangsa, bukanlah satu kebenaran Islam yang hakiki. Kita bisa menunjukan Jihad dengan cara yang lain yaitu Jihad kemanusiaan, ikut memuliakan manusia, saling menyayangi dan mengasihi sesuai hadist qudsi yang menyatakan “ irhamuu man fil ardl, yarhamukum man fissyamaa’i” sayangilah segala apa yang ada di muka bumi, maka kalian akan disayang oleh semua yang ada di langit”.
Film itu sejatinya juga memberi ruang dan tempat tertentu bagi satu pengakuan yang jujur pula, bahwa terdapat entitas Keislaman mayoritas di Republik ini yang mampu menunjukan perannya sebagai “Muslim Taat” dan juga sebagai warga bangsa Indonesia dengan sangat baik (dalam hal ini Hanung sepertinya merujuk pada entitas Banser sebagai bagian dari GP Anshor, ormas kepemudaan yang merupakan anak tertua dari ormas keagamaan Nahdlatul Ulama yang notabene pengikut Islam mayoritas di republik ini), bahkan dalam view nya didinding rumah Soleh terdapat beberapa poster Alm. KH.Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang merupakan icon NU dan icon perjuangan toleransi dan pluralisme di Indonesia  Entitas Islam dengan pemahaman Bahwa Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan adalah menjadi mantra yang akan menjadi dan menjaga surga kedamaian, kerukunan, keharmonisan kehidupan social di Republik ini.
Atau kalau menurut Ahmad Syafii Maarif mantan Ketum PP Muhammadiyah diidentifikasikan sebagai Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan Negara. Sebauh Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam; sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di nusantara ini, tanpa diskriminasi, apapun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya, Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin, sekalipun ajarannya sangat anti kemiskinan. Sebuah Islam yang benar benar Rahmatan Lil ‘Alamiin, menjadi rahmat bagi seakalian alam. Dan tentu film “Tanda Tanya”  ingin mengetuk setiap anak bangsa dari manapun entitas ras, suku, budaya, agamanya untuk selalu menerima takdir perbedaan itu sebagai suatu anugrah yang Tuhan Yang Maha Kuasa berikan  pada kita sebagai warga bangsa. Jadi pemeluk agama apapun di Republik ini, suku dan ras manapun, Cina, Jawa, Sunda, Batak, untuk bisa saling menghargai dan menghormati. Mantaplah Bang Hanung..!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar