Minggu, 29 Januari 2012

Kepemimpinan Huda: Antara Kekhawatiran Dan Harapan

Kepemimpinan Bupati/Wakil Bupati  H UU Ruzhanul Ulum dan H. Ade Sugianto sudah berjalan hampir sebulan. Setiap terjadi sirkulasi kepemimpinan pertanyaan yang muncul pasti berkisar dua hal, Apakah sama dengan pemerintahan sebelumnya ataukah ada sesuatu yang berbeda. Aapakah kepemimpinannya akan memberikan harapan ataukah akan meninggalkan kekecewaan. Selalu dasar pijaklannya berawal dari ekspektasi yang sedemikian besar akan terciptanya kondisi yang lebih baik, baik yang berkaitan dengan jalannya tata kelola pemerintahan, maupun yang berkaitan dengan terpenuhinya hajat hidup orang banyak menyangkut terciptanya keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan lahir bathin masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.
Tulisan ini tidak hendak menjustifikasi sebuah sikap yang mencerminkan apatisme, namun dalam setiap permulaan apapun tetap harus disediakan ruang-ruang optimisme, celah harapan yang disisakan, selain sikap pesimis dan kekhawatiran. Bagaimanapun secara takdir dan faktual pasangan Huda ini telah dipilih melalui proses politik demokratis prosedural dimana masyarakat Kabupaten Tasikmalaya telah menunjukan pilihannya, terlepas apakah perjalanan tahapan Pilkada itu dari awal sampai akhir itu memenuhi kualifikasi standar demokrasi substansial ataukah tidak, yaitu proses demokrasi yang perjalanannya mencerminkan sesuatu yang baik, dan yang dihasilkan juga yang terbaik, baik dari sisi moralitas, kapabelitas, integritas, dan mencerminkan quantum ekspektasi atau lompatan harapan menuju kemaslahatan dan arah yang lebih baik.

Kenyataan Faktual Pasangan Huda
            Kenyataan faktual yang hari ini kita terima adalah bahwa pasangan Bupati/wakil bupati merupakan politisi dari dua partai besar yang berbeda secara ideologis. Bupati UU Ruzhanul Ulum berangkat dari PPP sebagai partai Islam yang dalam beberapa periode pemilu menjadi pemenang di Kabupaten tasikmalaya, sementara H Ade Sugianto merupakan Ketua DPC PDIP. Adalah sesuatu yang sangat wajar, jika kepemimpinan di suatu daerah berasal dari dua kekuatan politik yang berbeda dalam perjalanannya selalu ada gesekan dan persaingan. Bupati boleh jadi beranggapan bahwa wakil tetaplah wakil, kebijakan utama tetap ada dalam genggaman tangannya, tidak akan pernah ada gambaran matahari kembar, sementara Wakil Bupati boleh jadi pula beranggapan bahwa jadinya pasangan ini adalah satu paket, jadi dalam hal pengelolaan pemerintahan juga sejatinya harus mencerminkan kerjasama saling menghargai diantara Bupati dan Wakil Bupati. Bagaimana format saling menghargai itu? Dalam hal kepemimpinan politik pemerintahan lekat dengan kepentingan, karena kekuasaan hakikatnya mencerminkan kepentingan yang abadi. Jadi pengertian saling menghargai itu tentu adalah pada bagaimana pembagian “kue” kekuasaan itu dilakukan secara proporsional, salah satunya dalam hal penempatan “kabinet” di level pejabat eselon II, III yang menjadi lokomotif pergerakan jalannya pemerintahan.
            Sesuatu yang saling berkelit kelindan bahwa “kue” kekuasaan dalam hal penempatan personil  berhubungan erat dengan gula-gula yang ada di dalamnya, lebih jauhnya lagi adalah porsi keberpihakan jangka panjangnya yang bersifat politik, bagaimana posisi Bupati dan Wakil Bupati itu mampu menopang upaya konsolidasi politik dari dua gerbong politik yang berbeda ideologis secara diametral tersebut. Bupati mungkin berpikir bagaimana mempertahankan Kabupaten Tasikmalaya itu agar tetap hijau, sementara Wakil Bupati ingin memerahkannya. Hal itu sah dan logis saja kalo dibaca semata politis. Hanya saja secara moral ideal, mudah-mudahan kita berharap, bahwa keduanya, pertama-tama dan utama yang ada dalam benaknya adalah memberikan kinerja terbaiknya memimpin kabupaten Tasikmalaya demi menciptakan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.

Konsolidasi, Penguatan Fondasi Pemerintahan Dan Harmonisasi
            Sangatlah penting kiranya kepemimpinan memikirkan sebuah frame kepemerintahan yang akan menjamin kokohnya fondasi jalannya pemerintahan. Pertama-tama dan utama tentu upaya konsolidasi internal layak dilakukan. Setelah event politik Pilkada pastilah terdapat suasana psikologis di kalangan birokrasi, terdapat Tiga kutub utama yang muncul dan terasa kelompok pendukung Huda, Kelompok yang kemarin tidak mendukung, dan kelompok kekuatan Mantan Bupati Tatang FH yang tentu masih menunjukan eksistensinya. Itu kalau dilihat secara politis, kalau dilihat secara non politis muncul pula fenomena STPDN dan non STPDN. Semua mestinya ditarik dalam wujud konsolidasi korps pemerintah daerah, bahwa saatnya bekerjasama dan sama-sama bekerja. Hilangkan sekat-sekat politis dan tarik menarik perkubuan. Hanya atas dasar pertimbangan profesionalisme, loyalitas pada aturan dan kapasitas serta kapabelitas, kepatutan dan kelayakanlah  yang harus menjadi ukuran.
            Seorang kawan yang orang dekat Bupati mengatakan pada penulis dengan gayanya yang khas, tentang ungkapan KH Abdul Aziz Affandi bahwa kemenangan H Uu sebagai Bupati adalah hal kecil bagi keluarga besar Ponpes Miftahul Huda Mnonjaya, tapi tijalikeuh atau gagalnya kepemimpinan Uu akan menjadi sesuatu yang sangat besar dampaknya bagi Huda, Hamida dan ulama serta pesantren pada umumnya. Jadi karenanya Hamida pada khususnya ikut bertanggungjawab menjaga dan mengawal kepemimpinan Bupati Uu agar berada dalam aturan normatif, dan menjalankan kepemimpinan dengan amanah dan shiddiq. Saya menyampaikan satu hal pada beliau bahwa seorang bupati dengan segala kewenangan dan kebijakannya ibarat memegang pisau bermata dua, jika kebijakannya tepat, sesuai aturan, maka masyarakat akan merasakan manfaat dan maslahatnya, jika sebaliknya maka pisau itu akan memotong lehernya sendiri.
            Sangatlah penting kiranya langkah-langkah konsolidasi internal terlebih dahulu, pertama yakinkan publik tentang tentang kepemimpinan harmonis antara Bupati dan Wakilnya itu akan bisa berjalan selama 5 tahun, jangan seperti rumor yang berkembang di masayarakat, yang menunjukan sikap apatis dan pesimis rakyat, bahwa paling bulan madu keduanya hanya akan berlangsung selama 6 bulan, selebihnya akan “gentreng” paadu kasep disamping mungkin paadu konsep. Jika kenyataan pergesekan diaantara keduanya kenceng, muncul ke publik, maka asumsi kepala daerah/wakil kepala daerah yang murni politisi dengan gerbong partainya selalu tak pernah akur akan terbukti kenyataannya, dan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya pasti akan merasakan dampaknya, termasuk tentu kalangan birokrasi sebagai pelaksana administrasi pemerintahan.
            Selain itu arah konsolidasi dan penguatan fondasi berada pada 4 pilar pokok plus keberadaan sekretaris daerah sebagai dirigen birokrasi. Yaitu Bappeda, Inspektorat, Dinas PPKAD, dan BKPLD. Keempat pilar itu harus benar-benar menjadi bidikan awal, langkah apa yang akan dilakukan selama lima tahun kedepan. Keempat lembaga itu berkaitan dengan persoalan sumberdaya manusia, sumber dana, perencanaan dan implementasi serta pengawasan pelaksanaan program-program yang akan dijalankan. Di keempat lemaga itu harus benar-benar disimpan orang yang kuat karakter kepemimpinan, kuat konsep dan penguasaan tupoksinya, serta tidak tercemari sikap-sikap politik yang berlebihan. Unsur profesionalisme dan daya tahan serta daya dobraknya harus kuat, jika cerminan yang hendak ditampilkan adalah kekuatan fondasi awal pemerintahan. Selebihnya melalui pola Baperjakat yang bebas intervensi  pihak-pihak eksternal sebagaimana sebelum-sebelumnya, akan melebar kepada lembaga atau dinas lainnya baik dalam penempatan personil di eselon II maupun eselon III nya.
            Ala kulli haal, semua kita berharap yang terbaik bagi masyarakat. Berharap ada harapan dari setiap kekhawatiran yang mungkin muncul. Semua kita takkan mampu melawan takdir yang telah terjadi. Sawaabiqul himaam laa tahruku aswaaral aqdar. Kuatnya keinginan takkan mampu mengoyak takdir. Takdir masyarakat Kabupaten Tasikmalaya dipimpin H Uu dan H Ade Sugianto, apapun dan bagaimanapun bukti dan kenyataannya. Terlepas sekali lagi dari bayangan dan ekspektasi idealitas figur kepemimpinan. Saat ini saatnya mereka berbuat, menunjukan bukti. Apakah mampu lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya ataukah sebaliknya. Baik kiranya jargon HAJI diambil, apa-apa yang sudah baik dilanjutkan dan ditingkatkan serta disempurnakan, apa-apa yang selama ini dianggap kurang baik diluruskan dan diperbaiki. Wallohu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar