Minggu, 29 Januari 2012

Mengantisipasi Meluasnya Aksi Rusuh Massa

Hari ini Kamis 26 Januari 2012, kita menyaksikan aksi rusuh massa yang kesekian kalinya terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi di  Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sejumlah kantor pemerintahan termasuk Kantor Bupati dan KPUD di rusak dan dibakar massa. Peristiwa ini tentu membuat kita semua prihatin. Namun ada yang lebih penting untuk kita dalami seputar pergerakan dan sumbu pendek rusuh massa itu, serta aspek politik yang mendasari dan mengikutinya.
Jika berkaca pada rangkaian aksi kerusuhan pada periode menjelang runtuhnya rezim Suharto sekitar tahun 1995 sampai tahun 1998. Ada kecenderungan pola yang bersifat  laten. Semuanya bergerak dari pinggir, lalu bergerak ke tengah. Dulu kerusuhan diawali di daerah Banyuwangi, terus maju ke Situbondo, Lalu Tasikmalaya, Karawang, Hingga terakhir Jakarta saat rusuh Mei 1998 yang memaksa Suharto  lengser. Faktor penyebabnya lebih pada sesuatu yang bersifat ketidakadilan, secara ekonomi, politik maupun hukum. Kalau di Tasik penyebabnya karena ada seorang ajengan yang di pukuli sama oknum polisi, maka meledaklah aksi rusuh masa yang diawali dari aksi unjukrasa yang meminta keadilan atau menuntut sesuatu.
Saat ini kita sudah melihat gelagat sumbu pendek dari berbagai daerah. Banyak persoalan pertanahan dan penguasaan lahan antara perusahaan swasta dan rakyat yang berakhir bentrok antara masyarakat setempat dengan aparat, dan tak sedikit pula yang memakan korban jiwa. Untuk kasus di Bima, aksi rusuh masa tersebut terkait dengan kekecewaan massa terhadap Bupati Bima yang tak kunjung mencabut SK Bupat tentang usaha tambang emas di Sape Bima.
Mengapa aksi rusuh masa terjadi? biasanya kondisi ini tercipta disebabkan saluran komunikasi yang macet. Rakyat sudah merasa tak terwakili suaranya, karena wakil rakyatnya ikut terlena oleh hedonisme. Aparat dan pemerintah dianggap bebal dan tuli terhadap berbagai masukan dan keinginan rakyat. Mereka ber-onani sendiri dengan kekuasaan yang digenggamnya.  Maka jika suara rakyat sudah tak lagi didengar, kedzaliman terus terjadi pada orang-orang kecil dan lemah. Mereka akan menjadi kekuatan dahsyat yang meruntuhkan apapun. Jika itu terjadi, maka dampak dan kerugian secara psikologis, sosial dan ekonomi akan dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Bacaan faktual diatas tentu tidak berdiri sendiri, harus dipahami juga bahwa dalam sebuah kondisi “perang” politik, akan selalu ada yang ikut bermain dan memainkan peran. Kalau dulu tahun 1996 an Gus Dur menyebutnya sebagai operasi naga hijau, maka  harus diantisipasi kemungkinan pola yang sama di periode akhir rezim kekuasaan SBY dengan lambang mercy nya.  Saat kepolisian citranya babak belur dengan kasus Sape, Mesuji dan Sendal Jepit, bayangkan bagaimana antisipasi penanganan keamanan dan ketertiban rakyat dijalankan. Ketika Kantor Bupati Bima di bakar, maka simbol keruntuhan pemerintahan disana tak lagi tersedia, kemanakah aparat kepolisian?
Dalam setiap aksi rusuh massa seperti apapun, selalu mengakibatkan kerugian dan nestapa yang memilukan. luluh lantaknya Jakarta saat tragedi Mei tak akan sanggup lagi diungkapkan dengan kata-kata. Kejadian itu banyak menggores luka yang teramat dalam bagi siapapun yang merasa kehilangan kehormatan, martabat dan orang-orang yang dicintainya.
Saya berharap bahwa tak ada yang mencoba bermain-main dengan persoalan rusuh masa demi kepentingan politik dan ekonominya. Hanya demi keinginan untuk lebih menunjukan eksistensi dan peran. Apalagi mempertahankan kekuasaan untuk tidak lepas dari jalur korps.
Rakyat harus lebih berhati-hati, untuk tidak mendiamkan situasi rusuh masa tersebut menjadi sebuah ucapan “well come”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar