Minggu, 29 Januari 2012

Mewujudkan Politik Religius Islami Yang Sebenarnya

Sebagai sebuah jargon politik, frase atau kalimat religius Islami sepertnya sudah dianggap tuntas masuk dalam memori masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, terutama dikalangan elit politik, terlepas ideologio apapun yang menjadi dasar partai yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini juga diterima sebagai sebuah sine qua non bagi perjalanan kehidupan tata pemerintahan atau birokrasi sebagai pelaksana kebijakan politik yang ditanamkan oleh kekuatan politik yang berkuasa (eksekutif) yaitu Bupati.

Selama sepuluh tahun pemerintahan rezim Bupati Tatang Farhanul Hakim dengan kekuatan PPP nya, dan kini juga diteruskan pada era kepemimpinan Bupati UU Ruzhanul Ulum, kalimat Religius Islami masih menjadi mantra yang erat melekat dalam visi kepemerintahan yang dijalankannya. Namun apakah frase “religius Islami” itu sudah menjadi karakter atau budaya yang mewarnai para elitnya dalam menjalankan pemerintahan, berikut perangkat sistem dan orang-orangnya dipemerintahan? Tentu hal ini menjadi satu hal lain yang berbeda keadaannya.

Sebagai sebuah konsep luhur, visi religius Islami itu tentu tak terbantahkan jika harus menjadi dasar pijakan tata kelola pemerintahan politik dengan basis sosiologis dan kultural masyarakat kabupaten Tasikmalaya yang memang mayoritas beragama Islam taat dengan kekuatan basis pesantren, mesjid, dan lembaga-lembaga keagamaan lain yang tentunya juga didalamnya ada banyak tokoh ulama, ajengan, ustad yang selalu konsisten mengawal moral ummat melalui berbagai aktifitas majlis ta’lim, tabligh dan sejenisnya. Masyarakat yang religius islami juga menjadi cita dan harapan dari sebuah tatanan kehidupan yang mencerminkan terinternalisasikannya nilai-nilai religiusitas dan Islamisme dalam setiap diri masyarakat dan tatanan kehidupan sosialnya.

Oleh karenanya, kita menyaksikan sebuah keinginan, yang muncul dari kalangan penggiat politik Islam, yang diwakili oleh kekuatan politik partai berazaskan islam untuk pertama-tama dan utama adalah bagaimana agar mantra “Islam” mewarnai ranah sosial politik, menjadi sebuah jargon politik yang membantu kemenangan target politik dalam hal ini kekuasaan, baik di legislatif maupun eksekutif, lebih jauhnya lagi bagaimana visi formalisme syari’at Islam dalam kebijakan politik dan pemerintahan dijalankan.

Hal yang membuat kita miris dan prihatin adalah, bahwa kenyataan dilapangan, antara cita dan fakta sering tak beriring sejalan. Antara das solen dan das sein terlihat bertentangan dan jauh dari harapan yang sesungguhnya diinginkan. Konsep dan visi religius islami itu sangatlah bagus, memiliki dasar philosofis, antropologis dan sosiologis yang inhern dengan kenyataan sosial masyarakat Tasikmalaya. Namun apakah dalam praktek politiknya, dalam manajemen kepemimpinannya, dalam mempertanggungjawabkan amanah uang rakyat menyangkut pengelolaan APBD, dalam tata kelola birokrasi berikut penempatan personilnya, dalam cerminan setiap kebijakan pelaksanaan pembangunannya, mencerminkan pula atau didasari oleh nilai-nilai religius islami?

Sebagai sebuah produk politik yang dihasilkan dari kesepakatan para anggota legislatif, visi pemerintahan menjadi guidance sekaligus main goal yang harus menjadi dasar pijakan sekaligus tujuan utama yang harus diperjuangkan bersama. Sementara visi itu memiliki frase utama “Religius Islami’ yang sesungguhnya pasti tidak hanya memiliki konsekwensi duniawi semata, tapi memiliki titik singgung dengan pertanggungjawaban akherat juga kepada Allah SWT. Disinilah penting kiranya untuk tidak hanya bermain kata-kata dengan konsep Islam. Islam jangan hanya dijadikan mantra untuk kepentingan politik semata, sementara nilai-nilai Islaminya ditinggalkan. Jika saja kita mem”pidato”kan terus Religius islami, sementara dalam prakteknya jauh dari nilai-nilai islami, maka sesungguhnya kita telah “memperkosa” keluhuran nama “Islam” itu sendiri.

Jika saja, praktek suap masih terjadi dalam pengerjaan proyek pembangunan, masih ada fee yang berseliweran baik bagi Kalangan DPRD, Bupati/Wakil Bupati, Sekda dan unsur pelaksana teknis lainnya di OPD terkait, berarti religius Islami belum mewarnai. Masyarakat seharusnya tahu bahwa, berdasarkan informasi yang penulis terima dari obrolan-obrolan santai dengan beberapa kawan yang biasa bermain dalam pekerjaan proyek pemerintah,  dari setiap proyek pekerjaan pembangunan yang dijalankan, prosentasi pekerjaan dan “kewajiban” yang harus dikeluarkan bagi pihak-pihak tertentu berkisar antara 60-40.  Jadi pekerjaan real nya hanya sekitar 60 persen, sementara anggaran yang 40 persennya habis dibagi-bagi pada para pihak tadi dengan judul “kewajiban”. Dan fakta ini dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan umum, sudah dianggap hal yang biasa-biasa saja.

Akan tetapi jika kita kaitkan dengan konsep Religius Islami, itu sungguh praktek ruswah yang secara ajaran islam jelas dinyaatakan bahwa “ar ra’syi wal murtasyi finnaar” yang nyogok dan yang disogok keduanya masuk neraka. Bayangkan jika saja anggaran pembangunan yang ditenderkan di semua OPD sekitar 300 Milyar, maka dari 40 persen kewajiban diambil angka 20 persennya saja atau sekitar 60 milyard masuk ke banyak saku celana para pihak yang memegang kebijakan atau pelaksana kebijakan di level teknisnya.
Anehnya lagi praktek ini berlangsung dari hulu sampai hilir, dari pusat hingga di daerah, praktiknya sama. Bahkan boleh jadi indikasi suap menyuap ini dilakukan secara sadar dan direncanakan. Karena kini kita juga menyaksikan terjadinya apa yang disebut sebagai proyek “usungan” dari provinsi dan pusat yang kewajibannya pun harus dibayar dimuka melalui jejaring politis di level para penentu anggaran. Apa yang terjadi di Kemenpora dan Kemenakertrans hanya fenomena apes saja. Di negeri ini asal gak ketahuan semuanya aman.  Akan lebih dahsyat lagi kejadiannya kalau sudah mendekati masa pemilu legislatif, atau pelaksanaan Pilkada, semuanya akan mempersiapkan pundi-pundi anggaran melalui praktek seperti itu.

Satu lagi ruang kebijakan yang patut diduga juga diwarnai praktek ruswah ini adalah dalam hal penerimaan CPNS, sempat beredar kabar yang bagi penulis cukup shahih karena langsung dari orang yang mengaku telah meluluskan beberapa orang PNS dengan sejumlah angka rupiah, jika saja masih ada praktek seperti itu dalam hal pengadaan kepegawaian, maka sungguh telah benar-benar terjadi pengkhianatan terhadap visi religius islami apapun argumentasi dan pembenaran yang diberikannya. Karena praktek seperti itu sejatinya mencerminkan aktifitas suap menyuap yang sungguh nyata, yang dalam jangka panjang hanya akan melahirkan tampilan para birokrat yang juga seolah menghalalkan praktek ruswah tersebut dalam menjalankan tugas kerjanya sebagai abdi negara.

Nilai-nilai dan semangat utama ‘religius islami” adalah terletak pada sebagaimana diungkapkan oleh ‘Izzudin ibn Abd. al-Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fiy mashalih al-Anam bahwa “ Innamat takalifu kulluha raji’atun ila mashalihil ‘ibad fiy dunyahum wa ukhrahumsegala pembebanan hukum Islam difokuskan atau dikembalikan untuk kemaslahatan ummat manusia, baik di dunia maupun diakherat.  Ketika kita berbicara tentang Islam, berarti kita berbicara tentang syari’at dan ajaran serta nilai-nilai Islam. Syari’at dan nilai Islam tersebut meskipun dalam hukum positif tata pemerintahan tidak secara formal menjadi pijakan dasar, setidaknya menjadi ruh dan substansi pokok dalam setiap gerak langkah seorang muslim, maupun sebagai warga negara.

Baik kiranya kita juga membaca apa yang dikatakan oleh Ibn Qayyim al-Jawjiyyah juga menyatakan bahwa “Bangunan dan fondasi hukum Islam didasarkan pada kebijaksanaan (kearifan) dan kemaslahatan manusia, baik didunia maupun diakherat. Syari’at seluruhnya adil, kasih sayang, maslahat, dan bijak. Oleh karena itu, setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju ke kecurangan, dari kasih sayang menuju sebaliknya, dari maslahat menuju ke kerusakan, dan dari kebijakan menuju kesewenang-wenangan, maka bukanlah syari’at

Jika mengacu pada dua referensi diatas, setiap tatanan yang mengambil konsep, jargon atau visi Islam sebagai dasar pijakannya harus mencerminkan nilai-nilai “Keadilan, kasih sayang, kearifan, kemaslahatan, dan pertanggungjawaban dunia dan akherat”. Tanpa itu semua, lebih baik jangan bawa-bawa Islam, apalagi dalam ranah poilitik dan kebijakan pemerintahan. Dalam setiap awal menduduki jabatan, baik saat pelantikan Bupati/Wakil bupati, pimpinan dan anggota DPRD, jabatan di pemerintahan kita selalu menyaksikan mereka mengucap sumpah yang diawali ‘Demi Allah”, sumpah tertinggi dalam agama Islam.

Kalau sudah begitu, seharusnya setiap kebijakan anggaran yang diambil, setiap penentuan jabatan di birokrasi pemerintahan, setiap pelaksanaan pembangunan apapun, setiap hal yang menjadi misi pemerintahan dari visi yang mencantumkan kalimat “Religius Islami” harus benar-benar mencerminkan semangat, nilai-nilai, dan tanggungjawab moral dan legal yang pertanggungjawabannya didunia pada masyarakat dan hukum, serta di akherat pada mahkamah sejati Allah SWT. Dan Tulisan ini semangatnya adalah, keinginan dan mimpi, kiranya visi “Religius Islami “ itu tidak sekedar bungkus, tidak hanya jargon dan kata-kata. Tapi nyata dalam praktek sesungguhnya dan terwujud dalam indikator yang lebih substantif, kualitatif dan massif, baik di level elit, maupun di kalangan alit. Wallohu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar