Minggu, 29 Januari 2012

Saatnya Memangkas Anggaran Belanja Politik

Saat ini berapa Anggaran Negara yang dipakai untuk proses mendudukan pejabat Negara baik presiden/wapres, gubernur/wagub, Bupati/Walikota dan wakilnya, DPR RI/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota dalam bentuk kegiatan Pemilu Legislatif, dan Pilpres, Pilgub dan Pilkada. Berapa anggaran yang dipakai untuk membayar gaji dan tunjangan pejabat Negara tersebut plus berbagai fasilitasnya. Jika mengacu pada postur anggaran di daerah 70-80 persen APBD habis untuk belanja pegawai, sementara belanja public hanya 20-30 persen saja. Lalu bagaimana untuk di tingkat APBD provinsi dan APBN pemerintahan pusat. Kenyataannya tentu tak jauh berbeda.
APBN yang mencapai 1400 trilyun setahun. Jika melihat berbagai kegiatan politik atas nama demokrasi prosedural, ternyata habis oleh urusan-urusan politik. Demokrasi di Negara kita hari ini ternyata berat di ongkos. Apalagi produk demokrasi yang dihasilkan juga berkelitkelindan dengan praktek-praktek tidak terpuji dalam bentuk korupsi yang diambil dari komitmen fee dan suap dari anggaran pembangunan yang dilakukan oleh kalangan legislative dengan eksekutif plus pengusaha yang mengerjakan proyek tersebut. Tak usah menyebutkan contoh, sangat bertebaran dengan terang benderang kasusnya baik di pusat maupun di daerah.
Dengan jumlah daerah pemerintahan sebanyak 33 provinsi, 548 Kabupaten/Kota tentu terdapat sekitar 66 gubernur dan wakil gubernur, 3300 anggota dewan provinsi kalau dirata-ratakan jumlah anggota dewan provinsi masing-masing 100 orang, 1096 bupati/walikota dan wakilnya, 27400 anggota Dewan kabupaten/kota (asumsi rata-rata 50 anggota /kabupaten atau kota) serta 600 anggota dewan pusat serta Presiden/Wapres dan mentri anggota Kabinetnya. Coba hitung cost politik dari fakta diatas, untuk sekedar gaji, tunjangan dan ragam fasilitas lainnya. Sementara disisi lain, diindikasikan pula terjadinya praktek suap dan fee antara 10-20 persen dalam hal pengalokasian anggaran pembangunan dalam bentuk proyek pemerintah. Lalu Berapa total uang Negara cq uang rakyat yang menguap ?.
Bayangkan, sudah untuk kegiatan politiknya menelan anggaran yang sangat besar, saat mereka sudah duduk pun masih menyedot anggaran yang juga tidak kecil. Dimanakah bagian untuk rakyat kalau begitu ? Maka jangan heran kalau anak-anak di lebak banten saja untuk berangkau ke sekolah harus seeperti Indiana jones, melewati jembatan gantung rusak yang dibawahnya mengalir deras sungai, banyakdi sekolah, gedungnya pun hampir roboh.
Kita belum berfikir kebutuhan gizi anak-anak tersebut. Kapan mereka bisa minum susu demi kecerdasannya. Yang ada ke sekolah tetap harus mengeluarkan biaya. Orang tuanya bekerja dengan kondisi jalan yang rusak parah, kalaupun naik kendaraan, BBM nya mahal, jika sakit biaya berobat gak punya. Jadi lagi-lagi, rakyat kebagiannya hanya jatah untuk dating ke TPS, memilih dan memilih, dengan sekali-kali diintimidasi dan ditipu dengan harga 20-30 ribu.
Jadi, Sudah saatnya Anggaran Negara, uang rakyat itu dipakai sebesar-besarnya oleh dan untuk kepentingan rakyat. Bagaimana caranya mengurangi anggaran untuk biaya-biaya penyelenggaraan pilih memilih pejabat Negara itu, mengurangi biaya untuk segala fasilitas mereka, dan mengurangi celah mereka untuk memainkan anggaran pembangunan. Sederhananya bagaimana mengurangi anggaran politik. Itu saja.
Bagaimana caranya? Benahi system politik. Pemilihan Langsung cukup hanya untuk memilih presiden saja. Memilih gubernur dan Bupati/walikota dikembalikan lagi kepada DPRD. Karena cost politiknya lebih murah. Kalau pilkada, potensi uang rakyat yang tersedot dan disedot oleh incumbent untuk kepentingan pemenangannya lebih besar, bantuan hibah dan bansos dan program di organisasi perangkat daerah sering disalahgunakan. Hanya saja harus diawali terlebih dahulu dengan mekanisme pemilihan anggota DPRD oleh rakyat secara sehat, mereka harus benar-benar yang terbaik secara moralitas, integritas dan kapasitasnya. Khoerukum khiarukum. Yang terbaik diantara kalian adalah mereka yang terpilih diantara kalian. Yang terpilih harus yang terbaik. That’s It !
Jangan pilih mereka yang menggunakan uang rakyat untuk membeli rakyat. Pilih mereka yang berjuang bersama dan semata-mata untuk rakyat. Membodohi rakyat dengan uang, tidak sama dengan mereka yang memberikan pencerdasan dan pencerahan untuk rakyat dalam hal menentukan pilihan. Rakyat harus dibuat cerdas dalam memilih, rakyat harus benar dalam memilih, jangan sampai salah memilih. Jika itu terjadi, dan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota merupakan pilihan terbaik, maka dalam memilih Gubernur, Bupati/Walikota pun tentu menggunakan indicator kebaikan. Bukan semata-mata transaksional.
Di Republik ini, apapun event politik yang dilakukan dengan menggunakan ideology transaksional dan pragmatisme, maka pasti akan menumbuh suburkan praktik-praktik korupsi, praktik pengkhianatan atas amanat rakyat. Yang ujung-ujungnya akan menenggelamkan harga diri bangsa, dan masa depan seluruh rakyat Indonesia. Tak ada bencana yang lebih besar bagi sebuah bangsa, selain hilangnya jati diri dan nilai-nilai luhur serta harga diri bangsanya.
Jadi, Saatnya menata ulang demokrasi kita, tidak semata demokrasi prosedural tapi juga demokrasi substansial. Sudah saatnya uang rakyat tidak habis percuma oleh persoalan dan kepentingan politik saja. Pangkas anggaran politik, alihkan untuk epentingan rakyat seluas-luasnya. Perbaiki jalan, jembatan, Bangun sekolah, rumah sakit, ciptakan lapangan kerja seluas-luasnya, agar rakyat punya harga diri, jangan dikasih BLT, PKH atau senjenisnya, yang hanya akan menjadikan mereka sebagai bangsa yang bertangan dibawah. Siapapun itu, Dia yang mampu menegakan hukum, adil memerintah, dan membangun dengan benar, bisa mensejahterakan rakyatnya. Maka dialah yang layak untuk dipilih dan memimpin Republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar