Cerita tentang memberi sesendok madu penulis baca sudah beberapa kali
dengan sumber bacaan yang beragam, penulis temukan kisah tersebut
diantaranya dalam bukunya Prof. Dr. Quraish Shihab berjudul Lentera
Hati, juga dalam artikel budaya novelis Habiburrahman el Shirazy
berjudul “Memberi sesendok madu untuk Indonesia” dalam sebuah harian
nasional beberapa tahun yang lalu. Pesan kisah itu sangat menyentuh dan
mengharukan, dan dapat menjadi bahan renungan bagi siapa saja yang
menghendaki berbuat sesuatu dalam hal apapun aktifitas kesehariannya.
Dikisahkan
ada seorang raja yang ingin menguji kejujuran dan kesetiaan rakyatnya,
suatu hari raja memerintahkan rakyatnya untuk mengumpulkan sesendok
madu dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Kira-kira ucapan
raja begini dihadapan rakyatnya “wahai rakyatku tercinta, pada hari
ini aku perintahkan kepada kalin semua untuk mengumpulkan satu sendok
madu, yang harus dikumpulkan di sebuah bukit, dan disana telah disiapkan
sebuah bejana besar untuk menampungnya”. Lalu rakyatnya pun pulang
ke rumahnya masing-masing. Ada seorang warga yang saat tiba dirumah
yang berfikir nakal dan berbicara pada istrinya “Bu, baginda raja
memerintahkan kita untuk memberi sesendok madu, yang harus dikumpulkan
di bejana atas bukit sana, kalau kita memberi sesendok air dari sekian
banyak rakyat, pasti gak akan ketahuan kan ?”
Akhirnya tiba
saat malam pengumpulan sesendok madu tersebut, sampai selesai semua
rakyat memberikannya, saat raja dan para pembantunya membuka bejana
tersebut, betapa kagetnya sang raja, karena bejana tersebut ternyata
isinya air semua. Sang raja amatlah sedih melihat kenyataan ini.
Ternyata pikiran nakal seorang warga itu sama dengan pikiran warga yang
lainnya, bahwa kalau kita memberi sesendok air tak akan ketahuan, karena
berfikir bahwa warga yang lain yang akan memberi sesendok madu.
Akhirnya semua warga memberi air bukan madu.
Memberi Yang Terbaik Dari Diri Sendiri
Pelajaran
berharga dari sepenggal kisah diatas adalah bahwa apapun diawali niat
baik dan memberikan yang terbaik dari diri kita sendiri. Terkadang kita
semua memiliki kebiasaan dan fikiran yang sama dengan salah seorang
warga tersebut, bahwa biarkan orang lain saja yang memberikan sesuatu
yang terbaik, sementara kita sendiri biarlah memberi yang sebaliknya
tokh tak akan ketahuan. Praktek kehidupan kita sehari-hari banyak yang
mencerminkan hal seperti itu. Dalam hal politik, social, ekonomi dan
religiusitas kita, kita bisa mengawali dengan selalu melakukan yang
terbaik dari diri kita sendiri. Beragam persoalan yang menghimpit bangsa
kita, kemiskinan, kebodohan, korupsi, pengrusakan alam, minusnya
tauladan kepemimpinan, praktik-paktik lainnya yang membuat kemajuan
peradaban kita melambat, kalau tidak disebut jumud dan mundur, tentu
harus menjadi keprihatinan kita bersama.
Semua kita
memiliki tanggungjawab yang sama untuk terus berupaya berproses
memperbaiki keadaan diri dan masyarakat kita pada umumnya. Bergerak
dinamis merubah dari kesalahan menuju perbaikan, dari keterbelakangan
menuju kemajuan, dari keburukan keadaan, menuju kebaikan dan
sebaik-baiknya kehidupan. Perubahan itu harus berangkat dari kedalaman
bacaan spiritualitas, religiusitas, moralitas dan bahasa nurani kita.
Jangan sekali-kali berhenti apalagi berputus asa. Jika kehidupan social
politik ekonomi dan kenegaraan kita hari ini diwarnai dengan berbagai
kondisi yang membuat kita miris hati, kita semua yakin koq bahwa Tuhan
senantiasa akan berpihak pada kebenaran. Meskipun yang benar belum tentu
akan menang dalam waktu instan, tapi yang pasti kebenaran pasti baik.
Dan pada akhirnya kebenaran dan kebaikan pasti akan memperoleh
kemenangan, meskipun memerlukan waktu yang agak panjang.
Semua kita hanya dituntut untuk memiliki pandangan dan pemikiran serta
keyakinan hati untuk memberi sesendok madu dari diri kita sendiri.
Jangan sekali-kali berfikir untuk memberi air, hanya karena pertimbangan
yang “nakal” tadi. Memberi sesendok madu, adalah memberi
sebanyak-banyaknya kebaikan dari kehidupan yang kita jalani. Menjadi
rakyat tak lebih hina dari seorang pejabat, menjadi rakyat tak lebih
rendah dari seorang pengusaha, menjadi manusia biasa juga tak lebih cela
dari seorang yang kaya raya. Apalagi dalam persoalan kepedulian kita
untuk memperbaiki kehidupan social politik dan kebangsaan kita. Menjadi
rakyat seharusnya adalah tuan bagi pemerintahnya, menjadi pemerintah
adalah justru pelayan bagi rakyatnya. Karena menjadi rakyat, sama dengan
menjadi “Tuhan”, bukankah suara rakyat juga merupakan suara Tuhan? Vox
populi vox dei.
Sesendok Madu Rakyat Bagi Pilkada Kota
Ada
momentum bagus bagi warga masyarakat Kota Tasikmalaya, saat ini sudah
mulai ramai perbincangan seputar memilih sosok pemimpin Kota Tasikmalaya
lima tahun kedepan. Perhelatan demokrasi lima tahunan yang
menggantungkan sepenuhnya pada suara rakyat, yang akan mejadi suara
Tuhan tentang nasib seseorang yang menginginkan dirinya jadi walikota
atau wakilnya. Menjadi pemimpin seharusnya tidak hanya semata-mata
mewujudkan keinginan pribadinya, tidak hanya menjawab atas pertanyaan “mengapa ingin jadi Bupati/Walikota” itu dengan jawaban “Ah hayang we pokonamah”,
karena mungkin dalam pikirnya, memegang kekuasaan itu identik dengan
privilege dan kemewahan, diagung-agung, dipuja-puji, dikawal kesana
kemari, dan bebas menggunakan anggaran rakyat untuk kepentingan pribadi
dan kelompoknya semata.
Padahal menjadi pemimpin
rakyat merupakan amanah, yang didalamnya terdapat tanggungjawab dunia
akherat untuk bagaimana memimpin rakyat, bagaimana mengurus uang rakyat,
bagaimana membawa rakyatnya pada kehidupan yang sejahtera lahir dan
bathin. Menjadi pemimpin juga menjalankan suara Tuhan, jangan
sekali-kali Tuhan “diperkosa” oleh praktik kekuasaan yang justru akan
melahirkan murkaNYA. Sesendok madu dari rakyat dalam hal Pilkada kota
bermakna bahwa rakyat benar-benar memberikan pilihan terbaiknya
berdasarkan keyakinan, pengetahuan, dan kepercayaan bahwa calon
pemimpinnya itu adalah yang terbaik, orang yang benar-benar akan
menjalankan amanat rakyat dan amanat Tuhan untuk sebesar-besarnya
kepentingan rakyat.
Sangatlah miris apabila ada ucapan seperti ini “Nu
paling layak jeung bener keur jadi pamingpin tasik teh sabenerna mah
pasangan nomor saanu, tapi da rakyat na ge can hayangeun dipingpin kunu
bener jeung layak”. Ungkapan itu tentu mencerminkan bahwa rakyat
masih tidak benar, masih tak menghendaki kebenaran dan idealitas dalam
hal memilih pemimpinnya. Tapi boleh jadi, kenyataan tersebut tak lepas
dari miskinnya informasi, dan kaya raya nya praktik tipu muslihat dari
kalangan elit politik terhadap rakyat. Sehingga rakyat dibodohi oleh
hanya sekedar uang recehan, oleh politik uang yang notabene dari uang
rakyat sendiri, padahal sungguh dalam jangka panjang keadaan tersebut
akan sangat merugikan rakyat itu sendiri.
Oleh karena
itulah, kita tentunya berharap bahwa kita selaku rakyat jangan memiliki
pikiran “nakal” dengan memberikan air, kita semua harus mulai dengan
keikhlasan diri untuk memberi sesendok madu politik, dengan cara
memberikan hak konstitusional kita selaku warga bangsa, agar rakyat
tidak salah memilih, agar dalam memilih pemimpin itu benar-benar
didasarkan pada penilaian yang rasional dan obyektif, akan kapasitas,
kapabelitas, moralitas, dan diniatkan ibadah untuk dalam rangka ikut
serta memperbaiki keadaan kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat
yang lebih baik.
Sesendok madu yang kita berikan, akan
memberi rasa manis yang menyembuhkan bagi penyakit sosial politik kita.
Separah apapun kondisi penyakit yang menghinggapi para pemimpin kita,
para politisi kita, para pemegang amanat rakyat kita, madu dari rakyat
akan memberi effek medis jangka panjang dalam perbaikan kehidupan bagi
anak cucu kita. Sesendok madu rakyat adalah cerminan sesendok madu
Tuhan, yang akan membawa kehidupan lebih manis dan indah dan
menyehatkan. Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar