Minggu, 29 Januari 2012

Sesendok Madu Rakyat Bagi Pilkada Kota

Cerita tentang memberi sesendok madu penulis baca sudah beberapa kali dengan sumber bacaan yang beragam, penulis temukan kisah tersebut diantaranya dalam bukunya Prof. Dr. Quraish Shihab berjudul Lentera Hati, juga dalam artikel budaya novelis Habiburrahman el Shirazy berjudul “Memberi sesendok madu untuk Indonesia” dalam sebuah harian nasional beberapa tahun yang lalu. Pesan kisah itu sangat menyentuh dan mengharukan, dan dapat menjadi bahan renungan bagi siapa saja yang menghendaki berbuat sesuatu dalam hal apapun aktifitas kesehariannya.
Dikisahkan ada seorang raja yang ingin menguji kejujuran dan kesetiaan rakyatnya,  suatu hari raja memerintahkan rakyatnya untuk mengumpulkan sesendok madu dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Kira-kira ucapan raja begini dihadapan rakyatnya “wahai rakyatku tercinta, pada hari ini aku perintahkan kepada kalin semua untuk mengumpulkan satu sendok madu, yang harus dikumpulkan di sebuah bukit, dan disana telah disiapkan sebuah bejana besar untuk menampungnya”. Lalu rakyatnya pun pulang ke rumahnya masing-masing. Ada seorang warga yang saat tiba dirumah yang berfikir nakal dan berbicara pada istrinya “Bu, baginda raja memerintahkan kita untuk memberi sesendok madu, yang harus dikumpulkan di bejana atas bukit sana, kalau kita memberi sesendok air dari sekian banyak rakyat, pasti gak akan ketahuan kan ?”
Akhirnya tiba saat malam pengumpulan sesendok madu tersebut, sampai selesai semua rakyat memberikannya, saat raja dan para pembantunya membuka bejana tersebut, betapa kagetnya sang raja, karena bejana tersebut ternyata isinya air semua. Sang raja amatlah sedih melihat kenyataan ini. Ternyata pikiran nakal seorang warga itu sama dengan pikiran warga yang lainnya, bahwa kalau kita memberi sesendok air tak akan ketahuan, karena berfikir bahwa warga yang lain yang akan memberi sesendok madu. Akhirnya semua warga memberi air bukan madu.

Memberi Yang Terbaik Dari Diri Sendiri
            Pelajaran berharga dari sepenggal kisah diatas adalah bahwa apapun diawali niat baik dan memberikan yang terbaik dari diri kita sendiri. Terkadang kita semua memiliki kebiasaan dan fikiran yang sama dengan salah seorang warga tersebut, bahwa biarkan orang lain saja yang memberikan sesuatu yang terbaik, sementara kita sendiri biarlah memberi yang sebaliknya tokh tak akan ketahuan. Praktek kehidupan kita sehari-hari banyak yang mencerminkan hal seperti itu. Dalam hal politik, social, ekonomi dan religiusitas kita, kita bisa mengawali dengan selalu melakukan yang terbaik dari diri kita sendiri. Beragam persoalan yang menghimpit bangsa kita, kemiskinan, kebodohan, korupsi, pengrusakan alam, minusnya tauladan kepemimpinan, praktik-paktik lainnya yang membuat kemajuan peradaban kita melambat, kalau tidak disebut jumud dan mundur, tentu harus menjadi keprihatinan kita bersama.
            Semua kita memiliki tanggungjawab yang sama untuk terus berupaya berproses memperbaiki keadaan diri dan masyarakat kita pada umumnya. Bergerak dinamis merubah dari kesalahan menuju perbaikan, dari keterbelakangan menuju kemajuan, dari keburukan keadaan, menuju kebaikan dan sebaik-baiknya kehidupan. Perubahan itu harus berangkat dari kedalaman bacaan spiritualitas, religiusitas, moralitas dan bahasa nurani kita. Jangan sekali-kali berhenti apalagi berputus asa. Jika kehidupan social politik ekonomi dan kenegaraan kita hari ini diwarnai dengan berbagai kondisi yang membuat kita miris hati, kita semua yakin koq bahwa Tuhan senantiasa akan berpihak pada kebenaran. Meskipun yang benar belum tentu akan menang dalam waktu instan, tapi yang pasti kebenaran pasti baik. Dan pada akhirnya kebenaran dan kebaikan pasti akan memperoleh kemenangan, meskipun memerlukan waktu  yang agak panjang.
            Semua kita hanya dituntut untuk memiliki pandangan dan pemikiran serta keyakinan hati untuk memberi sesendok madu dari diri kita sendiri. Jangan sekali-kali berfikir untuk memberi air, hanya karena pertimbangan yang “nakal” tadi. Memberi sesendok madu, adalah memberi sebanyak-banyaknya kebaikan dari kehidupan yang kita jalani. Menjadi rakyat tak lebih hina dari seorang pejabat, menjadi rakyat tak lebih rendah dari seorang pengusaha, menjadi manusia biasa juga tak lebih cela dari seorang yang kaya raya. Apalagi dalam persoalan kepedulian kita untuk memperbaiki kehidupan social politik dan kebangsaan kita. Menjadi rakyat seharusnya adalah tuan bagi pemerintahnya, menjadi pemerintah adalah justru pelayan bagi rakyatnya. Karena menjadi rakyat, sama dengan menjadi “Tuhan”, bukankah suara rakyat juga merupakan suara Tuhan? Vox populi vox dei.

Sesendok Madu Rakyat Bagi Pilkada Kota
            Ada momentum bagus bagi warga masyarakat Kota Tasikmalaya, saat ini sudah mulai ramai perbincangan seputar memilih sosok pemimpin Kota Tasikmalaya lima tahun kedepan. Perhelatan demokrasi lima tahunan yang menggantungkan sepenuhnya pada suara rakyat, yang akan mejadi suara Tuhan tentang nasib seseorang yang menginginkan dirinya jadi walikota atau wakilnya. Menjadi pemimpin seharusnya tidak hanya semata-mata mewujudkan keinginan pribadinya, tidak hanya menjawab atas pertanyaan  “mengapa ingin jadi Bupati/Walikota” itu dengan jawaban “Ah hayang we pokonamah”, karena mungkin dalam pikirnya, memegang kekuasaan itu identik dengan privilege dan kemewahan, diagung-agung, dipuja-puji, dikawal kesana kemari, dan bebas menggunakan anggaran rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
            Padahal menjadi pemimpin rakyat merupakan amanah, yang didalamnya terdapat tanggungjawab dunia akherat untuk bagaimana memimpin rakyat, bagaimana mengurus uang rakyat, bagaimana membawa rakyatnya pada kehidupan yang sejahtera lahir dan bathin. Menjadi pemimpin juga menjalankan suara Tuhan, jangan sekali-kali Tuhan “diperkosa” oleh praktik kekuasaan yang justru akan melahirkan murkaNYA. Sesendok madu dari rakyat dalam hal Pilkada kota bermakna bahwa rakyat benar-benar memberikan pilihan terbaiknya berdasarkan keyakinan, pengetahuan, dan kepercayaan bahwa calon pemimpinnya itu adalah yang terbaik, orang yang benar-benar akan menjalankan amanat rakyat dan amanat Tuhan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
            Sangatlah miris apabila ada ucapan seperti ini “Nu paling layak jeung bener keur jadi pamingpin tasik teh sabenerna mah pasangan nomor saanu, tapi da rakyat na ge can hayangeun dipingpin kunu bener jeung layak”. Ungkapan itu tentu mencerminkan bahwa rakyat masih tidak benar, masih tak menghendaki kebenaran dan idealitas dalam hal memilih pemimpinnya. Tapi boleh jadi, kenyataan tersebut tak lepas dari miskinnya informasi, dan kaya raya nya praktik tipu muslihat dari kalangan elit politik terhadap rakyat. Sehingga rakyat dibodohi oleh hanya sekedar uang recehan, oleh politik uang yang notabene dari uang rakyat sendiri, padahal sungguh dalam jangka panjang keadaan tersebut akan sangat merugikan rakyat itu sendiri.
            Oleh karena itulah, kita tentunya berharap bahwa kita selaku rakyat jangan memiliki pikiran “nakal” dengan memberikan air, kita semua harus mulai dengan keikhlasan diri untuk memberi sesendok madu politik, dengan cara memberikan hak konstitusional kita selaku warga bangsa, agar rakyat tidak salah memilih, agar dalam memilih pemimpin itu benar-benar didasarkan pada penilaian yang rasional dan obyektif, akan kapasitas, kapabelitas, moralitas, dan diniatkan ibadah untuk dalam rangka ikut serta memperbaiki keadaan kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat yang lebih baik.
            Sesendok madu yang kita berikan, akan memberi rasa manis yang menyembuhkan bagi penyakit sosial politik kita. Separah apapun kondisi penyakit yang menghinggapi para pemimpin kita, para politisi kita, para pemegang amanat rakyat kita, madu dari rakyat akan memberi effek medis jangka panjang dalam perbaikan kehidupan bagi anak cucu kita. Sesendok madu rakyat adalah cerminan sesendok madu Tuhan, yang akan membawa kehidupan lebih manis dan indah dan menyehatkan. Semoga saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar