Aku mengenalnya saat sama-sama mengikuti pendidikan dan
pelatihan yang diselenggarakan oleh KODI DKI Jakarta di daerah Tanah
Abang, satu tahun lamanya. Orangnya cantik, putih, keibuan dan cerdas.
Bicaranya bernas dengan kemasan bahasa yang sederhana namun berisi. “Panggil saja namaku Ina”
begitu dia pertama kali memperkenalkan diri. Dia orang seberang Sumatra
bermarga Lubis. Di Jakarta sebenarnya dia sedang mengikuti kuliah di
LIPIA di daerah Salemba. Sebuah lembaga yang takhassus dalam bidang
kajian Islam dan Bahasa Arab. Sementara aku sendiri sedang menimba ilmu
di salah satu perguruan tinggi di daerah Ciputat Jakarta.
Pertemuan demi pertemuan di kelas kampus Tanah Abang ini, dan
diskusi-diskusi ringan seputar keluarga, kampus, dan masalah agama cukup
membuat kami lebih dekat. Hingga suatu hari Aku memberanikan diri
untuk mengantarkannya pulang ke sebuah perum di daerah Depok. Disana ia
tinggal bersama kakaknya yang sudah bekerja di salah satu bank berplat
merah. Perjalanan dalam biskota antara Tanah Abang dan Depok telah
menyisakan sebuah asa yang ternyata diantara kami sama-sama
merasakannya.
“Jika abang percaya bahwa hati ini digerakkan oleh Tuhan, Mencintai
atau membenci sekalipun, Aku takkan pernah bisa menolak takdir” begitu kalimat yang mengalir dari bibir mungilnya.
” Abang hanya sedang bertanya pada Tuhan, dalam setiap menempelnya
dahi ini di sajadah lusuhku, dimalam nan sepi, dalam tengadahnya tangan,
Apakah kiranya rasaku ini DIA Ridloi?” Jawabku dalam suatu kesempatan berbincang.
“Minggu depan, Umi akan datang ke Jakarta, Jum’at sore kapal akan
merapat di Pelabuhan Tanjungpriok, Ada sodara yang mau menikahkan
anaknya. Jika Abang ada waktu, datanglah ke Umi, sekedar silaturrahmi.
Ina sudah bicara banyak koq di telepon tentang Abang” ungkapnya
dengan nada penuh harap. Sesaat aku sempat terdiam, membayangkan apa
kira-kira kejadian yang akan terjadi jika aku datang berkunjung menemui
Uminya yang jauh-jauh dari seberang sana.
“Insya Allah Sabtu pagi abang akan berangkat dari rumah, menemui Umi”
Jawabku. Di rumah pikiranku melayang-layang, aku berfikir keras
pembicaraan dan sikap apa yang harus aku tunjukan jika Umi bertanya
tentang aku dan kedekatanku dengan anaknya Ina.
Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat menuju Depok, selama dalam biskota,
aku mencoba mengumpulkan kata, untuk kurangkai sebagai bahan
pembicaraan dengan Umi nanti, ada rasa deg-degan, cemas dan waswas,
karena baru kali itu aku harus bertemu dengan ibu dari perempuan yang
mengaku mencintaiku, Sebagaimana aku pun mengungkapkan kalimat yang
sama.
Akhirnya, Aku mampu mengatasi beban mentalku saat bertemu dengan Umi,
beliau ternyata sangat ramah, dan nampak sekali kematangannya sebagai
seorang Ibu. Suasana cair dengan penuh keakraban dan kekeluargaan sangat
terasa. Aku bisa tertawa lepas dan tanpa beban sama sekali, karena Umi
juga mewanti-wanti agar aku jangan segan. Terlihat rona bahagia dan
senyum mengembang dari Ina. Dia menyaksikan bahwa aku kelihatannya mampu
menaklukan Uminya. Dan tak ada tanya khusus dari umi seputar aku dengan
Ina anaknya, Beliau hanya berujar “Nitip anak umi ya ananda…”
Hingga umi kembali lagi ke Medan hari Seninnya, Aku ikut mengantarkan
hingga pelabuhan Tanjung Priok. Baru kali itu aku menginjak pelabuhan,
masuk ke dalam kapal mengantarkan Umi dan barang-barang bawaannya. Ada
keharuan juga saat umi berpelukan dengan Ina, dan beliau menatap padaku
sambil berurai air mata, “Jagain Ina yaa Ananda..” kalimat
itulah yang lagi-lagi keluar dari Umi, Aku mengangguk dengan penuh
Ta’dhim, meyakinkan Umi. Pulangnya dari pelabuhan Aku sengaja ajak Ina
main ke tempat tinggal saudaraku, tempat selama ini aku menitipkan hidup
di Jakarta.
“Bang..Ina ingin bicara, Sebenarnya umi bilang ke Ina, bahwa ada
seorang pria datang ke rumah umi, minta Ina untuk jadi istrinya. Dia
seorang dosen di salah satu perguruan tinggi disana, Umi sebenarnya
datang kesini sekalian ingin bertanya pada Adik, bagaimana responnya.
Kedatangan Abang, dan pertemuannya selama dua kali ini telah memberikan
jawaban bagi Umi, sehingga umi pulang membawa jawaban tentang bagaimana
sikap Ina” ungkapnya. Ada gurat kesedihan diwajah bersihnya. ” Tapi Ina bahagia melihat sikap aa pada Umi” katanya.
Aku hanya menarik nafas panjang. Aku sangat memahami perasaan yang
bergejolak dalam hati Ina. Aku mengerti keinginannya, dan aku pun
merasakan kebahagiaan yang tiada tara saat bisa sedemikian dekat dengan
keluarganya.
” Abang akan pulang ke Kampung, akan bicara dengan Ema disana..”
kataku. Aku meyakinkan dia bahwa, Aku adalah sosok lelaki yang memang
siap menjadi Imam dia. Menjadi pelabuhan terakhir cintanya, yang akan
menjalani kebahagiaan hidup bersama, menaklukan Jakarta.
Aku dan Ina menjalani sebuah ikatan yang begitu mencerahkan, saat
sama-sama menyelesaikan diklat di KODI Jakarta, kita menjalani hubungan
jarak jauh, telpon dan surat terus mengalir. Bahkan hingga suatu saat
Ina terpaksa harus pulang, karena Umi sakit.Aku mengantarnya hingga ke
geladak kapal, Aku bahkan menunggu di pinggir dermaga, saat kepal mulai
berlayar, dan lambaian tangannya pergi meninggalkan aku dalam keheningan
sendiri. Ada rasa hampa, rasa kehilangan.
Saat dia di Medan sana, hubungan komunikasi kita masih sangat lancar dan
intens, setiap hari aku selalu menanti tukang pos lewat, karena
biasanya Ina berkirim surat dengan coretan-coretan pena yang begitu
dalam. bahkan catatan perjalanan 2 hari tiga malamnya di kapal, dia
tuliskan dalam surat yang seminggu kemudian aku terima. Sangat menyentuh
dan membuat aku tak dapat berkata apa-apa. Betapa dalamnya rasa cinta
dia.
Dalam berseliwerannya suara, jutaan kata-kata yang ku tulis dalam
kertas, dalam bentangan jarak yang memisahkan, Aku sampai pada suatu
malam. Di Wartel langgananku, suara sendu di seberang sana, sudah hampir
dua jam aku berbicara dengannya.
Ina mengabariku tentang semakin intens nya pria yang tempo hari itu
datang ke rumah. Dia terus bertanya kapan akan menyebrang ke Sumatra,
menjemput asa yang sudah menjadi janji bersama. Sementara dalam
pikiranku juga verkecamuk ucapan Ema, pada suatu kesempatan aku bicara
tentang kedekatanku dengan seorang perempuan Sumatra “Jangan jauh-jauh, nanti susah pulang“. Itulah mantra sakti dari Emakku.
Selama lebih dua jam pembicaraan kami, kalimat terakhir yang ku dengar dari suara telpon itu adalah ” You Are The Looser“.
Itulah suara terakhir dari Ina gadis Sumatra, dan dengan kata-kata yang
sama, juga esoknya aku baca dalam catatan panjang dari email yang
dikirimkannya. Dan aku pun hanya diam, dalam kebisuan sikap.
Aku memang Pengecut..Tapi Aku tak mau menentang Ridlo Ibuku. Karena
Ridlo Tuhan dalam Ridlo Orang Tua, Murka Tuhan juga dalam murka kedua
orang tua. Apalagi Emakku, adalah “khalik” yang telah menciptakanku
menjadi seorang “makhluk” bernama manusia.