Jika melihat judul Demokrat VS Media, maka kita
seakan-akan ditarik pada sebuah keadaan yang menunjukan adanya
pertarungan vis a vis antara kekuatan politik Partai Demokrat satu sisi,
dan gelombang pemberitaan Media pada sisi yang lainnya. Dan saya
melihatnya sebagai pemanasan awal pertarungan politik antar parpol
sendiri, karena media dalam pengertian diatas adalah juga terdapat
kekuatan politik dibekalangnya. Saya juga melihat adanya ketidak
berimbangan arus dan lalu lintas media yang menyoroti seputar Partai
Demokrat. Ibarat dalam sebuah pertandingan tinju, antara petinju Crish
Jhon melawan Tyson. Pasti keteteran lah.
Jika kekuatan partai lain memiliki jaringan mainstream media baik cetak
maupun elektronik maupun media sosial. Golkar punya TV One dan viva news
nya, Partai Nasdem punya Metro Group dan MNC Group nya, yang semuanya
secara bergelombang terus memberitakan seputar kasus korupsi yang
melanda elit partai Demokrat, maka tidak demikian tentunya dengan Partai
Demokrat itu sendiri. Mereka seakan keteteran menahan arus serangan
pemberitaan yang bertubi-tubi mengarah ke jantung pertahanan Demokrat.
Maka pertahanan terakhir yang dilakukan oleh Demokrat akhirnya adalah
Menyerukan Kader-kader demokrat untuk memboikot media mainstream dengan
cara tidak meladeni permintaan wawancara, dialog atau tanggapan apapun
yang datangnya dari media.
Namun hal itu lagi-lagi bukanlah strategi yang cerdas, malah semakin
menyiramkan bensin untuk menambah semakin menyalanya arus pemberitaan
tentang Demokrat di berbagai jenis media. Kita memang tidak memungkiri
derasnya pemberitaan tersebut ada kekuatan politik didalamnya, namun
Partai Demokrat juga seharusnya sadar diri bahwa kalau tak ada api tak
mungkin ada asap. Kalau tak ada praktik kotor yang dilakukan oleh
elitnya, tentu tak akan terjadi hiruk pikuk dan politik bunyi-bunyian
ini dalam berbagai kanal berita. Dan Partai Demokrat juga seharusnya
tidak melupakan jati diri dan sejarah kelahirannya, bahwa meroketnya
Partai Demokrat dalam peta politik nasional tak lebih dan tak kurang
karena peran pemberitaan media yang banyak mengangkat berita seputar SBY
dan program-program bagi-bagi uangnya seperti BLT, PKH, Raskin dll yang
dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap rakyat.
Sehingga menurut pendapat saya, bahwa sesuatu yang menanjak dengan
tiba-tiba karena citra yang dibangun oleh media, maka secara sunnatullah
wajar saja kalau harus menurun kembali bahkan drop ke level awal
kelahirannya karena citra buruk yang juga diangkat oleh media. Media
tentu sah memberitakan sebuah angel pemberitaan yang layak untuk
diangkat. Apalagi kasus Nazarudin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh,
Dan Boikot Media ini merupakan berita yang dianggap seksi untuk naik
meja redaksi.
Makanya, menurut saya, jika Demokrat mengambil sikap memboikot media,
hal itu justru akan semakin menambah kesan dan citra negatif Partai
Demokrat di mata publik. Karena hal itu dianggap sebagai sebuah langkah
pembenaran terhadap fakta-fakta kasus yang melilit elit demokrat.
Sehingga hal itu akan semakin membuat persepsi publik menjadi lebih
antipati terhadap demokrat.
Seharusnya elit-elit Demokrat menyusun strategi sebagaimana dulu mereka
berhasil bertengger di posisi pertama sebagai pemenang Pemilu Legislatif
yang kemudian berhasil mengantarkan SBY menjabat sebagai presiden
selama hampir 2 periode. Dengan cara mengintercept kekuatan-kekuatan
jaringan media, baik cetak, elektronik dan media sosialnya. Dengan
menyiapkan kadernya yang memang memiliki kualitas intelektual yang
memadai, moralitas dan integritas yang mumpuni, serta memiliki kekuatan
komunikasi yang baik.
Lebih daripada itu semua, alangkah lebih baiknya jika upaya yang
dilakukan itu bersifat dramatis. Misalnya dengan serta merta saja
membereskan kader-kadernya yang diindikasikan bermasalah tersebut, non
aktifkan saja, entah Itu Anggelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi
Malarangeng, Mirwan Amir, Atau siapapun yang selama ini dianggap menjadi
sumber bad news di Partai Demokrat. Tokh semuanya sudah berada dalam
alur proses hukum. Kalupun misalnya hukum mengatakan mereka tidak
bersalah, mereka dapat dipulihkan kembali kehormatan dan reputasinya.
Jika langkah-langkah strategis itu enggan untuk diambil, malah mengambil
sikap pemboikotan terhadap media, maka hal itu justru akan menjadi
pintu masuk bagi menggeloranya gerakan boikot Partai Demokrat. Jika itu
sudah menjadi sebuah gerakan sosial, maka tamatlah riwayat hidup Partai
Demokrat di Republik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar