Selasa, 28 Februari 2012

Menjadi “Doktor”, Meja Kerjaku Adalah Springbedku

Ini pengalaman masalaluku saat merasakan tugas pertama kali dipemerintahan. Kala itu Aku mendapatkan penugasan di suatu daerah perbatasan kabupaten, boleh dibilang ujung pelosok daerah, yang jarak tempuhnya sangat jauh dari tempat tinggalku, sekitar 40 km lebih, jika menuju ke sana harus melewati jalan rusak berkelok, naik turun, sebagian beraspal seulas, selebihnya berbatu, selain itu pula harus melalui bentangan hutan pinus yang panjang. Ada banyak jurang di kanan kiri jalan. Jika hujan deras turun, maka kita harus ekstra hati-hati, karena jalanan menjadi licin oleh air bercampur tanah merah dari perbukitan diatasnya. Untuk sampai ke kantorku, setidaknya melewati dua jembatan sisa peninggalan zaman perang, dengan alas kayu gunung sebagai penyangganya.
Awalnya aku melewati hari-hari pekerjaanku dengan tiap hari pergi pulang naik kendaraan motor, dengan durasi waktu perjalanan sekitar 1,5 jam,  sekali-kali naik kendaraan umum, naik turun sebanyak 4 kali, dan angkutan terakhirnya ke lokasi naik bak terbuka, duduk pada sanggaan mobil di kiri kanannya, bersama orang-orang yang pulang belanja barang dagangan warungan, dari pasar tempat mobil bak merangkap angkutan itu mangkal. Maka tak heran, jika naik angkutan bak itu, disekitar kita ada kambing, ikatan petai, jengkol, salak, sayuran, ikan asin, dan makanan jajanan anak. Hmmm..segala bau-bauan ada, bercampur farfum murah dari bajuku yang ku beli dari kios minyak wangi di pinggir jalan.
Lama kelamaan aku berasa capek juga, jika berangkat kerja harus setiap hari pulang pergi. Akhirnya aku berfikir untuk mencoba cara lain. Suatu hari aku nggak pulang ke rumah, aku nyoba tidur di kantor. Awalnya kaget dan serem. Karena kantorku berada di daerah pegunungan, yang meski di sekitar kantorku terang dengan sinar cahaya lampu, namun di sekitarnya banyak titik-titik kegelapan, suara-suara binatang malam yang membentuk orkestra mistis. Satu-satunya teman yang menemaniku adalah Komputer, sementara Mang Asep penjaga kantor kadang keluar masuk, nengok anak istrinya dirumah dan hewan peliharaannya yang berjarak sekitar 500 meter dari kantor.
Di Kantorku tak ada kasur empuk, yang ada hanya meja-meja kerja dari para karyawan sekitar 6 buah. termasuk di dalamnya mejaku. Oleh karenanya jika malam sudah larut, dalam cuaca dingin pegunungan, aku paling menggabungkan dua meja sebagai alas tidurku. Ya meja itu menjadi kasur terempukku jika aku menjadi “Doktor” alias mondok di Kantor, dengan tas ranselku sebagai bantalnya.
Akhirnya, karena jika moment-moment tertentu aku harus dinas malam hari, mengunjungi kegiatan-kegiatan masyarakat, maka mau tak mau aku jadi setiap hari tidur di kantor. pulang jam 12 sampai jam 1 malam. selain itu pula semakin banyak teman dari warga di sekitar kantor atau pelosok yang ingin menemani aku jadi “doktor”. maka jadilah Meja kerjaku, yang jika siang aku pakai untuk menulis dan membereskan berbagai laporan, berkas bertumpuk, maka kalau malam semuanya bersih masuk laci. karena berfungsi sebagai springbed empuk yang membuat tidurku lelap.
Tak ada istilah susah tidur, walau meja kerja kayu tersebut secara fisik keras, tapi pikiran dan hatilah yang membuat jiwa nyaman dalam berkompromi dengan mata. Jika fisik lelah saat siang bekerja, maka mata tak banyak bertanya pada pikiran. Tak butuh waktu lama, tak peduli di luar raungan truk pengangkut kayu-kayu hutan tak berhenti bersuara, tak peduli teman yang lain berjaga di depan gerbang, menunggu lemparan 10 hingga 20 ribunya. tahu-tahu adzan subuh sudah berkumandang.
Selama setahun itu, Aku benar-benar merasakan betapa nikmatnya jadi “Doktor”, selalu mondok di Kantor, dengan ditemani meja kerjaku, yang tentunya terbebas dari permainan dibawah meja, apalagi permainan di atas meja yang hari ini sudah menjadi penyakit umum yang katanya era reformasi. Karena prinsipku apa yang bisa dipermudah kenapa dipersulit, apa yang bisa dipercepat kenapa harus diperlambat, Apa yang bisa dipermurah kenapa harus dibuat mahal. Sebuah prinsip yang begitu berat tantangannya, karena lingkungan kerjaku terbiasa dengan budaya sebaliknya. Oleh karenanya, apa yang ku lihat, ku dengar, ku rasakan telah mempengaruhi perjalanan hidupku, sehingga aku harus mengambil keputusan. Yang menurut banyak orang dianggap “gila”.  Tapi Memori tentang meja kerjaku telah menambah file-file indah perjalanan hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar