Sebulan ini saya sedang menikmati
senandung syi’iran Gus Dur yang saya peroleh secara tidak sengaja
melalui dunia maya. Sebuah video yang menyajikan lantunan syi’iran
berbahasa Jawa yang dibacakan Gus Dur dalam sebuah acara pengajian.
namun sayang karena gapteknya saya, saya tak bisa menguploadnya disini.
silahkan di search saja sebagaimana judul diatas.
Syi’iran tersebut mengupas seputar
nilai-nilai ideal dalam sikap keberagamaan kita dan fenomena yang
terjadi selama ini, kaitannya dengan Keimanan kepada Tuhan, Kitab Suci,
Kecintaan kepada Rasululloh, Sikap dan prinsip hidup sebagai seorang
pribadi dan bagaimana tata etika sosial, selain itu pula syi’iran Gus
Dur mengupas keyakinan pada Takdir Tuhan, hingga Akhir kehidupan kita
selaku hamba. Mendengarkannya terus terang membuat saya ingin terus
memutar ulang, menelaah kedalaman isinya, membuat saya semakin melihat
betapa sayang dan pedulinya Gus Dur pada ummat, khususnya mereka
orang-orang kecil. Bagaimana menciptakan tatanan kebaikan individual dan
social dalam kacamata spiritual. Berikut terjemahan bebas dari syi’iran
Gus Dur tersebut.
Sya’ir Cinta Gus Dur diawali dengan
permintaan pengampunan Pada Allah SWT atas segala kesalahan dan dosa
selaku manusia, dan meminta pertambahan Ilmu yang bermanfaat yang
disertai semangat untuk menjalankan amal sholeh dengan ilmunya. Pada
sisi ini, saya melihat bahwa setiap manusia tak ada yang sempurna,
manusia adalah manusia, bukan malaikat juga bukan syetan. Karakter
manusia selalu berada pada titik dimana ada salah dan benar yang kita
lakukan. Merasa diri tak pernah berbuat salah, merasa diri paling benar
adalah kesombongan yang nyata. Bahkan sikap sombong dan takabur itu
merupakan bentuk kemusyrikan. karena yang berhak sombong dan takabur
hanyalah Allah semata.
Gus Dur mengajak kita semua untuk mengaji, untuk terus belajar ilmu agama dan ilmu lainnya,
tidak hanya syari’at atau hukum saja, yang hanya pinter bercerita,
menulis dan membaca, yang nantinya hanya akan membuat hidup sengsara.
Banyak yang hapal Qur’an dan hadist, senangnya mengkafirkan orang lain,
sementara kekafirannya sendiri tak terperhatirkan. Itu pertanda hati
dan akalnya masih kotor. Orang seperti itu mudah tertipu nafsu angkara,
dengan segala gemerlapnya dunia, iri dan dengki dengan apa yang dimiliki
saudaranya, hatinya gelap dan nista.
Oleh karenanya, Gus Dur mengingatkan
kita untuk jangan lupa mengaji, untuk belajar ilmu dengan segala
tingkatannya, agar kita memiliki ketebalan iman, keluasan wawasan, yang
akan menjadi sebaik-baiknya bekal, dan memuliakan saat kematian kita.
Menurut Gus Dur, orang yang disebut baik itu adalah dia yang memiliki
hati yang baik, karena ilmunya mumpuni dalam segala hal, termasuk
hakikat dan makrifatnya.
Gus Dur mengajak kita semua untuk
menancapkan Ajaran Al-Qur’an, sebagai wahyu qodim yang mulia, yang tanpa
ditulis namun bisa dibaca. Al-Qur’an sebagai Mukzijat Rasul nan agung,
yang harus senantiasa menempel dalam hati dan pikiran, merasuk kedalam
seluruh badan yang menjadi pedoman, sebagai jalan bagi mantapnya
keimanan.
Gus Dur juga mengajarkan kita agar
senantiasa mendekat pada Tuhan dalam setiap waktu, baik siang maupun
malam. Semua bisa dilatih dan dibiasakan melalui praktik dzikir.
Karenanya hidupnya akan merasa aman, nyaman dan tentram, sebagai
pertanda iman. Dia senantiasa sabar menerima meskipun hidup dalam
keadaan pas-pasan, karena semuanya tak dapat dilepaskan dari takdirnya
Tuhan.
Dalam kehidupan social, kita harus rukun
dengan saudara, teman maupun tetangga, tak boleh bertikai, karena itu
ajaran Rasul Muhammad yang mulia, yang harusnya menjadi tauladan kita
semua.
Jika kita semua melakukan itu semua,
maka Allah lah yang akan mengangkat derajatnya, meskipun secara dhohir
kelihatannya rendah, namun sesungguhnya dia memiliki maqom yang mulia.
Jika dia meninggal pada akhirnya, maka ruh dan sukmanya tak akan
kesasar. Allah akan menyediakan surge tempatnya kembali. Jasadnya akan
utuh begitu juga kain kafan yang menyelimutinya.
Catatan :
Syi’iran Gus Dur diatas menjadi bahan
refleksi bagi kita semua yang mengaku beriman, agar senantiasa memiliki
sikap keberagamaan yang penuh cinta kasih, yang didasari oleh kedalaman
ilmu yang tidak hanya Syari’at, tapi juga kedalaman hakikat dan makrifat
terhadap Tuhan. Orang mengaku Islam yang merasa benar sendiri, yang
seenaknya menyalahkan paham orang lain, mengkafirkan orang lain,
mengintimidasi manusia yang lain, membuat keonaran, kerusakan, dan
ketakutan terhadap Islam, mengganggu tatanan social kemasyarakatan,
menunjukan kedangkalannya dalam memahami keagungan ajaran Islam.
Seakan-akan bahwa tiket surga itu bisa diperoleh dengan cara-cara
seperti itu, padahal Sehebat apapun ibadah syari’at, pintu surga hanya
akan terbuka jika Allah SWT ridlo kepada kita. Baiknya hubungan kita
dengan Allah, dengan sesama saudara seiman, sesama saudara sebangsa, dan
sesama saudara sebagai manusia, merupakan pertanda kedalaman Ilmunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar