Selasa, 28 Februari 2012

Sya’ir Cinta Gus Dur

Sebulan ini saya sedang menikmati  senandung syi’iran Gus Dur yang saya peroleh secara tidak sengaja melalui dunia maya. Sebuah video yang menyajikan lantunan syi’iran berbahasa Jawa yang dibacakan Gus Dur dalam sebuah acara pengajian. namun sayang karena gapteknya saya, saya tak bisa menguploadnya disini. silahkan di search saja sebagaimana judul diatas.
Syi’iran tersebut  mengupas seputar nilai-nilai ideal dalam sikap keberagamaan kita dan fenomena yang terjadi selama ini, kaitannya dengan Keimanan kepada Tuhan, Kitab Suci, Kecintaan kepada Rasululloh, Sikap dan prinsip hidup sebagai seorang pribadi dan bagaimana tata etika sosial, selain itu pula syi’iran Gus Dur mengupas  keyakinan pada Takdir Tuhan, hingga Akhir kehidupan kita selaku hamba. Mendengarkannya terus terang membuat saya ingin terus memutar ulang, menelaah kedalaman isinya, membuat saya semakin melihat betapa sayang dan pedulinya Gus Dur pada ummat, khususnya mereka orang-orang kecil. Bagaimana menciptakan tatanan kebaikan individual dan social dalam kacamata spiritual. Berikut terjemahan bebas dari syi’iran Gus Dur tersebut.
Sya’ir Cinta Gus Dur diawali dengan permintaan pengampunan Pada Allah SWT atas segala kesalahan dan dosa selaku manusia, dan meminta pertambahan Ilmu yang bermanfaat yang disertai semangat untuk menjalankan amal sholeh dengan ilmunya. Pada sisi ini, saya melihat bahwa setiap manusia tak ada yang sempurna, manusia adalah manusia, bukan malaikat juga bukan syetan. Karakter manusia selalu berada pada titik dimana ada salah dan benar yang kita lakukan. Merasa diri tak pernah berbuat salah, merasa diri paling benar adalah kesombongan yang nyata. Bahkan sikap sombong dan takabur itu merupakan bentuk kemusyrikan. karena yang berhak sombong dan takabur hanyalah Allah semata.
Gus Dur mengajak kita semua untuk mengaji, untuk terus belajar ilmu agama dan ilmu lainnya, tidak hanya syari’at atau hukum saja, yang hanya pinter bercerita, menulis dan membaca, yang nantinya hanya akan membuat hidup sengsara. Banyak yang hapal Qur’an dan hadist, senangnya mengkafirkan orang lain,  sementara kekafirannya sendiri tak terperhatirkan. Itu pertanda hati dan akalnya masih kotor. Orang seperti itu mudah tertipu nafsu angkara, dengan segala gemerlapnya dunia, iri dan dengki dengan apa yang dimiliki saudaranya, hatinya gelap dan nista.
Oleh karenanya, Gus Dur mengingatkan kita untuk jangan lupa mengaji, untuk belajar ilmu dengan segala tingkatannya, agar kita memiliki ketebalan iman, keluasan wawasan, yang akan menjadi sebaik-baiknya bekal, dan memuliakan saat kematian kita. Menurut Gus Dur, orang yang disebut baik itu adalah dia yang memiliki hati yang baik, karena ilmunya mumpuni dalam segala hal, termasuk hakikat dan makrifatnya.
Gus Dur mengajak kita semua untuk menancapkan Ajaran Al-Qur’an, sebagai wahyu qodim yang mulia, yang tanpa ditulis namun bisa dibaca. Al-Qur’an sebagai Mukzijat Rasul nan agung, yang harus senantiasa menempel dalam hati dan pikiran, merasuk kedalam seluruh badan yang menjadi pedoman, sebagai jalan bagi mantapnya keimanan.
Gus Dur juga mengajarkan kita agar senantiasa mendekat pada Tuhan dalam setiap waktu, baik siang maupun malam. Semua bisa dilatih dan dibiasakan melalui praktik dzikir. Karenanya hidupnya akan merasa aman, nyaman dan tentram, sebagai pertanda iman. Dia senantiasa sabar menerima meskipun hidup dalam keadaan pas-pasan, karena semuanya tak dapat dilepaskan dari takdirnya Tuhan.
Dalam kehidupan social, kita harus rukun dengan saudara, teman maupun tetangga, tak boleh bertikai, karena itu ajaran Rasul Muhammad yang mulia, yang harusnya menjadi tauladan kita semua.
Jika kita semua melakukan itu semua, maka Allah lah yang akan mengangkat derajatnya, meskipun secara dhohir kelihatannya rendah, namun sesungguhnya dia memiliki maqom yang mulia. Jika dia meninggal pada akhirnya, maka ruh dan sukmanya tak akan kesasar. Allah akan menyediakan surge tempatnya kembali. Jasadnya akan utuh begitu juga kain kafan yang menyelimutinya.
Catatan :
Syi’iran Gus Dur diatas menjadi bahan refleksi bagi kita semua yang mengaku beriman, agar senantiasa memiliki sikap keberagamaan yang penuh cinta kasih, yang didasari oleh kedalaman ilmu yang tidak hanya Syari’at, tapi juga kedalaman hakikat dan makrifat terhadap Tuhan. Orang mengaku Islam yang merasa benar sendiri, yang seenaknya menyalahkan paham orang lain, mengkafirkan orang lain, mengintimidasi manusia yang lain, membuat keonaran, kerusakan, dan ketakutan terhadap Islam, mengganggu tatanan social kemasyarakatan, menunjukan kedangkalannya dalam memahami keagungan ajaran Islam. Seakan-akan bahwa tiket surga itu bisa diperoleh dengan cara-cara seperti itu, padahal Sehebat apapun ibadah syari’at, pintu surga hanya akan terbuka jika Allah SWT ridlo kepada kita. Baiknya hubungan kita dengan Allah, dengan sesama saudara seiman, sesama saudara sebangsa, dan sesama saudara sebagai manusia, merupakan pertanda kedalaman Ilmunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar