Bulan-bulan ini sedang musimnya pelaksanaan
musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Biasanya diawali dari
musrenbangdus, musrenbangdes, musrenbangkec, dan musrenbangkab, hingga
musrenbangprov dan musrenbangnas.
saya berkesempatan menghadiri musrenbangkec, musyawarah perencanaan
pembangunan tingkat kecamatan (katanya), diahadiri perwakilan dari tiap
desa, fasilitator dari tingkat Kabupaten, biasanya tim dari Bappeda plus
pemantau LSM yang dipakai oleh Bappeda. Eh tak lupa hadir juga beberapa
anggota dewan yang terhormat.
Konsepnya bagus, solah-olah mendengar dan menyusun program perencanaan
pembangunan yang datang dari masyarakat, khususnya yang telah digodok di
musrenbang tingkat desa. Jadi program prioritas antar desa diadu
sehingga menjadi program prioritas di tingkat Kecamatan, untuk kemudian
dibawa dalam musrenbang tingkat kabupaten diadu dengan prioritas program
dari kecamatan-kecamatan lainnya.
Bayangkan, ada konsep usulan, ada perwakilan masyarakat, ada tim
Bappeda, ada LSM yang memantau, Ada anggota DPRD yang hadir. Tapi pada
kenyataannya, program yang terealisasi lebih banyak yang ujug-ujug, yang
tak ada dalam rumusan prioritas program dalam musren. Kekuatan lobby
politik lebih menentukan sebuah program pembangunan, sehingga kalangan
Kepala Desa justru lebih enjoy ngobrol di ruangan khusus dengan anggota
Dewan yang hadir, dalam rangka meminta jatah anggaran aspirasi
masing-masing anggota tersebut atau meminta pagu anggaran yang bisa
diperjuangkan oleh anggota dewan tersebut, tentu dengan konsekwensi
komitmen fee dan komitmen dukungan politik kedepannya.
Oleh karenanya, berapapun besarnya anggaran kegiatan musyawarah
perencanaan pembangunan, hanyalah bentuk “nyuparkeun kawajiban”, sekedar
menunjukan dilaluinya alur mekanisme, meskipun dilakukan dengan model
“seolah-olah”. Seolah-olah musren, seolah-olah prioritas, seolah-olah
mendengar aspirasi masyarakat. tapi dalam praktek realisasinya, hasil
musren hanya berharga sebagai kertas bungkus kacang tanah saja.
Sama halnya dalam urusan lelang dan tender. Kebanyakan mekanisme lelang
dan tender juga hanya formalitas saja. Karena nyatanya, hasilnya sudah
ditentukan semenjak awal oleh kekuatan politik yang berkepentingan,
apalagi jika anggaran pembangunan itu datang karena hasil usungan, hasil
membeli dari kios anggaran proyek di tingkat lebih tinggi, baik di
provinsi maupun pusat. Atau misalnya kawalan politik dari anggota dewan
provinsi ataupun pusat dengan terlebih dulu membuat komitmen dengan
pengusaha yang akan mengerjakannya.
Jadi mereka menurunkan anggaran sekaligus dengan pengusahanya, karena
sebelumnya urusan “lain-lainnya” sudah terlebih dulu diselesaikan saat
pembelian anggaran tersebut.
Inilah kenyataan sebuah kata yang disebut “mekanisme’. yang hanya
bermakna dengan tambahan akhiran “an”. Tetenderan, lelelangan,
Mumusrenbangan….
Hmmmmm…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar