Selasa, 28 Februari 2012

“You Are The Looser!”

Aku mengenalnya saat sama-sama mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh KODI DKI Jakarta di daerah Tanah Abang, satu tahun lamanya. Orangnya cantik, putih, keibuan dan cerdas. Bicaranya bernas dengan kemasan bahasa yang sederhana namun berisi. “Panggil saja namaku Ina” begitu dia pertama kali memperkenalkan diri. Dia orang seberang Sumatra bermarga Lubis. Di Jakarta sebenarnya dia sedang mengikuti kuliah di LIPIA di daerah Salemba. Sebuah lembaga yang takhassus dalam bidang kajian Islam dan Bahasa Arab. Sementara aku sendiri sedang menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi di daerah Ciputat Jakarta.
Pertemuan demi pertemuan di kelas kampus Tanah Abang ini, dan diskusi-diskusi ringan seputar keluarga, kampus, dan masalah agama cukup membuat  kami lebih dekat. Hingga suatu hari Aku memberanikan diri untuk mengantarkannya pulang ke sebuah perum di daerah Depok. Disana ia tinggal bersama kakaknya yang sudah bekerja di salah satu bank berplat merah. Perjalanan dalam biskota antara Tanah Abang dan Depok telah menyisakan sebuah asa yang ternyata diantara kami sama-sama merasakannya.
Jika abang percaya bahwa hati ini digerakkan oleh Tuhan, Mencintai atau membenci sekalipun, Aku takkan pernah bisa menolak takdir” begitu kalimat yang mengalir dari bibir mungilnya.
Abang hanya sedang bertanya pada Tuhan, dalam setiap menempelnya dahi ini di sajadah lusuhku, dimalam nan sepi, dalam tengadahnya tangan, Apakah kiranya rasaku ini DIA Ridloi?” Jawabku dalam suatu kesempatan berbincang.
Minggu depan, Umi akan datang ke Jakarta,  Jum’at sore kapal akan merapat di Pelabuhan Tanjungpriok, Ada sodara yang mau menikahkan anaknya. Jika Abang ada waktu, datanglah ke Umi, sekedar silaturrahmi. Ina sudah bicara banyak koq di telepon tentang Abang” ungkapnya dengan nada penuh harap. Sesaat aku sempat terdiam, membayangkan apa kira-kira kejadian yang akan terjadi jika aku datang berkunjung menemui Uminya yang jauh-jauh dari seberang sana.
Insya Allah Sabtu pagi abang akan berangkat dari rumah, menemui Umi” Jawabku. Di rumah pikiranku melayang-layang, aku berfikir keras pembicaraan dan sikap apa yang harus aku tunjukan jika Umi bertanya tentang aku dan kedekatanku dengan anaknya Ina.
Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat menuju Depok, selama dalam biskota, aku mencoba mengumpulkan kata, untuk kurangkai sebagai bahan pembicaraan dengan Umi nanti, ada rasa deg-degan, cemas dan waswas, karena baru kali itu aku harus bertemu dengan  ibu dari perempuan yang mengaku  mencintaiku, Sebagaimana aku pun mengungkapkan kalimat yang sama.
Akhirnya, Aku mampu mengatasi beban mentalku saat bertemu dengan Umi, beliau ternyata sangat ramah, dan nampak sekali kematangannya sebagai seorang Ibu. Suasana cair dengan penuh keakraban dan kekeluargaan sangat terasa. Aku bisa tertawa lepas dan tanpa beban sama sekali, karena Umi juga mewanti-wanti agar aku jangan segan. Terlihat rona bahagia dan senyum mengembang dari Ina. Dia menyaksikan bahwa aku kelihatannya mampu menaklukan Uminya. Dan tak ada tanya khusus dari umi seputar aku dengan Ina anaknya, Beliau hanya berujar “Nitip anak umi ya ananda…”
Hingga umi kembali lagi ke Medan hari Seninnya, Aku ikut mengantarkan hingga pelabuhan Tanjung Priok. Baru kali itu aku menginjak pelabuhan, masuk ke dalam kapal mengantarkan Umi dan barang-barang bawaannya. Ada keharuan juga saat umi berpelukan dengan Ina, dan beliau menatap padaku sambil berurai air mata, “Jagain Ina yaa Ananda..” kalimat itulah yang lagi-lagi keluar dari Umi, Aku mengangguk dengan penuh Ta’dhim, meyakinkan Umi. Pulangnya dari pelabuhan Aku sengaja ajak Ina main ke tempat tinggal saudaraku, tempat selama ini aku menitipkan hidup di Jakarta.
Bang..Ina ingin bicara, Sebenarnya umi bilang ke Ina, bahwa ada seorang pria datang ke rumah umi, minta Ina untuk jadi istrinya. Dia seorang dosen di salah satu perguruan tinggi disana, Umi sebenarnya datang kesini sekalian ingin bertanya pada Adik, bagaimana responnya. Kedatangan Abang, dan pertemuannya selama dua kali ini telah memberikan jawaban bagi Umi, sehingga umi pulang membawa jawaban tentang bagaimana sikap Ina” ungkapnya. Ada gurat kesedihan diwajah bersihnya. ” Tapi Ina bahagia melihat sikap aa pada Umi” katanya.
Aku hanya menarik nafas panjang. Aku sangat memahami perasaan yang bergejolak dalam hati Ina. Aku mengerti keinginannya, dan aku pun merasakan kebahagiaan yang tiada tara saat bisa sedemikian dekat dengan keluarganya.
Abang akan pulang ke Kampung, akan bicara dengan Ema disana..” kataku. Aku meyakinkan dia bahwa, Aku adalah sosok lelaki yang memang siap menjadi Imam dia. Menjadi pelabuhan terakhir cintanya, yang akan menjalani kebahagiaan hidup bersama, menaklukan Jakarta.
Aku dan Ina menjalani sebuah ikatan yang begitu mencerahkan, saat sama-sama menyelesaikan diklat di KODI Jakarta, kita menjalani hubungan jarak jauh, telpon dan surat terus mengalir. Bahkan hingga suatu saat Ina terpaksa harus pulang, karena Umi sakit.Aku mengantarnya hingga ke geladak kapal, Aku bahkan menunggu di pinggir dermaga, saat kepal mulai berlayar, dan lambaian tangannya pergi meninggalkan aku dalam keheningan sendiri. Ada rasa hampa, rasa kehilangan.
Saat dia di Medan sana, hubungan komunikasi kita masih sangat lancar dan intens, setiap hari aku selalu menanti tukang pos lewat, karena biasanya Ina berkirim surat dengan coretan-coretan pena yang begitu dalam. bahkan catatan perjalanan 2 hari tiga malamnya di kapal, dia  tuliskan dalam surat yang seminggu kemudian aku terima. Sangat menyentuh dan membuat aku tak dapat berkata apa-apa. Betapa dalamnya rasa cinta dia.
Dalam berseliwerannya suara, jutaan kata-kata yang ku tulis dalam kertas, dalam bentangan jarak yang memisahkan, Aku sampai pada suatu malam. Di Wartel langgananku, suara sendu di seberang sana, sudah hampir dua jam aku berbicara dengannya.
Ina mengabariku tentang semakin intens nya pria yang tempo hari itu datang ke rumah. Dia terus bertanya kapan akan menyebrang ke Sumatra, menjemput asa yang sudah menjadi janji bersama. Sementara dalam pikiranku juga verkecamuk ucapan Ema, pada suatu kesempatan aku bicara tentang kedekatanku dengan seorang perempuan Sumatra “Jangan jauh-jauh, nanti susah pulang“. Itulah mantra sakti dari Emakku.
Selama lebih dua jam pembicaraan kami, kalimat terakhir yang ku dengar dari suara telpon itu adalah ” You Are The Looser“. Itulah suara terakhir dari Ina gadis Sumatra, dan dengan kata-kata yang sama, juga esoknya aku baca dalam catatan panjang dari email yang dikirimkannya. Dan aku pun hanya diam, dalam kebisuan sikap.
Aku memang Pengecut..Tapi Aku tak mau menentang Ridlo Ibuku. Karena Ridlo Tuhan dalam Ridlo Orang Tua, Murka Tuhan juga dalam murka kedua orang tua. Apalagi Emakku, adalah “khalik” yang telah menciptakanku menjadi seorang “makhluk” bernama manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar