Saya menulis ini terus terang terinspirasi oleh tulisannya Mbak Icha Nors di Kompasiana berjudul “Nikah Muda Di Kecam, Zinah Dini Dibiarkan“.
Tulisannya bagus dan inspiratif. Tulisan saya ini pasti tak disenangi
para Ibu. Karena wanita mana yang rela untuk dimadu atau di poligami.
Meskipun satu dua orang diantara sejuta perempuan mungkin ada.
Sebagaimana seorang teman SMA saya yang seorang dosen di salah satu
perguruan tinggi swasta di daerah Ciamis, dia sudah punya anak satu. Dia
pernah berbicara pada saya dalam sebuah kesempatan reuni terbatas. Lalu
diantara kita saling berbagi cerita seputar keluarga. Nah dalam
keasyikan ngobrol itu dia nyerempet ke urusan poligami.
” Man, laki gue kan kerjanya jauh di Kalimantan. pulangnya gak
setiap bulan, kadang 6 bulan atau setahun sekali dia pulang, Tapi
komunikasi via Telpon jalan terus, Gue pernah ngomong gini ama laki gue.
Mas Karena mas jauh, jika mas punya niat untuk berpoligami, asal mas
bicara pada saya, maka akan saya izinkan. Asalkan mas disana jangan
melakukan Zina” begitu katanya. Saya sontak kaget mendengar obrolan dia. Koq Bisa?
“Kalau orang mengimani sepenuhnya pada Al-Qur’an, maka dia harus
menerima seutuhnya apa isi Al-Qur’an, jangan setengah-setengah, atau
menerima sebagian dan menolak sebagiannya lagi. Bagi saya, masalah
Poligami ini jelas ada penjelasannya dalam Al-Qur’an. Jadi bagi saya
tidak ada masalah” bebernya. Nah lho saya semakin mengerutkan kening. ” Lalu bagaimana dengan urusan adilnya?” tanya saya.
” Begini, Ibarat HP, jika seseorang sudah punya satu HP, lalu dia
membeli lagi HP yang baru, maka otomatis dia akan lebih sering
menggunakan HP barunya, wajar dia lebih sering mengusap-usap,
bermain-main dengan HP baru tersebut, karena pasti memiliki tampilan
baru yang lebih indah, menarik, dan fitur yang lebih lengkap daripada HP
yang jadul” ungkapnya sambil ketawa. ” Lalu gimana urusan cintanya, otomatis kan cinta sang suami itu jadi terbagi dua, gak akan seratus persen lagi” Tanyaku lagi.
“Kalau dia suami yang benar, bukan begitu membagi urusan cintanya,
Bahwa saat dia sedang di istri pertama, seratus persen cintanya untuk
dia, saat ke istri keduanya ya seratus persen juga cintanya. Asalkan
sekali lagi dia mampu menafkahi lahir bathinnya saja, dan bisa
membuatnya bahagia. Gue meskipun jauh, dan nafkah bathin jarang toh
fine-fine aja koq. Karena sekalinya pulang, kan gue bisa habis-habisan
ma dia” jelasnya, sambil tertawa lepas. Dan saya pun tak kuasa menahan tawa yang keras. ” Laki lo poligami sekarang, atau nikah lagi disana?” tanyaku penasaran.
“Ya meskipun gue udah ngasih izin, kalo misalnya dia mau poligami
disana, toch dia sampai sekarang gak berani nikah lagi. Dia malah bilang
“Dik mas ngurus kamu satu aja belum sempurna koq, dan gak habis habis”
katanya..hehehe” ungkapnya terkekeh.
Dari obrolan teman tadi, saya terus terang mendapatkan pencerahan
tentang sesuatu yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan. Lalu
saya sering ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman di kantor, dan banyak
sekali informasi tentang fenomena “Suami” yang bermain di belakang
istrinya. Lebih jelasnya mereka sering melakukan “Zina” di luaran.
Bahkan saya sampai pada satu kesimpulan, bahwa mayoritas laki-laki
senang berselingkuh, senang memiliki wanita simpanan lain, dan
menganggap Zina sebagai sesuatu yang biasa. Naudzubillah.
” Wajar lah lalaki mah bangor..asal ulah kanyahoan we! (Wajar
Lelaki nakal, asal jangan ketahuan saja)” begitulah kira-kira mantra
yang sering diungkapkan oleh mereka. Itulah fenomena “kebohongan” yang
seolah dianggap sebagai sesuatu yang biasa.
Saya memiliki pandangan bahwa jika seorang lelaki bermain di belakang
istrinya, maka pastilah dia akan senantiasa memelihara praktik
kebohongan dalam setiap pembicaraan dan tindakannya. Dia akan
berselingkuh dalam segala hal. Dalam berbicara, dia akan sering
berbohong, saat enerima sms atau telpon dari “seseorang” diluar sana,
lalu istrinya nanya misalnya ” Siapa mas?”, dia pasti akan menjawab ”
Teman kantor, pa anu..” dan lain sebagainya. Dalam hal uang, dia juga
pasti akan menyediakan alur kas pengeluaran lain untuk biaya
operasionalnya bermain di luaran. Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan
yang sekan memberi rasa aman dan cap “Biasa” dengan praktik seperti
itulah.
Oleh karena itu, jika melihat fenomena seperti tersebut diatas, maka
saya cenderung sepakat dengan sikap kawan SMA saya tadi dalam menyikapi
persoalan poligami. Jangan terlalu paranoid dengan persoalan yang memang
sudah sangat jelas secara hukum dan aturan mainnya. Apalagi kita
meyakini Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seorang mukmin dan muslim.
Pengingkaran terhadap pesan itu, adalah pengingkaran juga terhadap
Al-Qur’an. Persoalannya adalah tergantung bagaimana seorang laki-laki
memandang hukum poligami tersebut, tidaklah semata-mata karena
kepentingan nafsu seksual semata, tapi memiliki dasar pijakan yang
benar, logis, dan memenuhi prasyarat sebagaimana diperkenankan oleh
hukum syari’at.
Karena saya seorang lelaki muslim, saya sangat memahami pandangan kawan
saya tadi, dan sampai saat inipun saya tak pernah terpikir untuk
berpoligami. Tapi saya bukan orang yang berpegang pada judul diatas ” Poligami Tak Disenangi, Zinah Dianggap Biasa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar