Selasa, 28 Februari 2012

Poligami Tak Disenangi, Zina Dianggap Biasa

Saya menulis ini terus terang terinspirasi oleh tulisannya Mbak Icha Nors di Kompasiana berjudul “Nikah Muda Di Kecam, Zinah Dini Dibiarkan“. Tulisannya bagus dan inspiratif. Tulisan saya ini pasti tak disenangi para Ibu. Karena wanita mana yang rela untuk dimadu atau di poligami. Meskipun satu dua orang diantara sejuta perempuan mungkin ada. Sebagaimana seorang teman SMA saya yang seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di daerah Ciamis, dia sudah punya anak satu. Dia pernah berbicara pada saya dalam sebuah kesempatan reuni terbatas. Lalu diantara kita saling berbagi cerita seputar keluarga. Nah dalam keasyikan ngobrol itu dia nyerempet ke urusan poligami.
Man, laki gue kan kerjanya jauh di Kalimantan. pulangnya gak setiap bulan, kadang 6 bulan atau setahun sekali dia pulang, Tapi komunikasi via Telpon jalan terus, Gue pernah ngomong gini ama laki gue. Mas Karena mas jauh, jika mas punya niat untuk berpoligami, asal mas bicara pada saya, maka akan saya izinkan. Asalkan mas disana jangan melakukan Zina” begitu katanya. Saya sontak kaget mendengar obrolan dia. Koq Bisa?
Kalau orang mengimani sepenuhnya pada Al-Qur’an, maka dia harus menerima seutuhnya apa isi Al-Qur’an, jangan setengah-setengah, atau menerima sebagian dan menolak sebagiannya lagi. Bagi saya, masalah Poligami ini jelas ada penjelasannya dalam Al-Qur’an. Jadi bagi saya tidak ada masalah” bebernya. Nah lho saya semakin mengerutkan kening. ” Lalu bagaimana dengan urusan adilnya?” tanya saya.
Begini, Ibarat HP, jika seseorang sudah punya satu HP, lalu dia membeli lagi HP yang baru, maka otomatis dia akan lebih sering menggunakan HP barunya, wajar dia lebih sering mengusap-usap, bermain-main dengan HP baru tersebut, karena pasti memiliki tampilan baru yang lebih indah, menarik, dan fitur yang lebih lengkap daripada HP yang jadul” ungkapnya sambil ketawa. ” Lalu gimana urusan cintanya, otomatis kan cinta sang suami itu jadi terbagi dua, gak akan seratus persen lagi” Tanyaku lagi.
Kalau dia suami yang benar, bukan begitu membagi urusan cintanya, Bahwa saat dia sedang di istri pertama, seratus persen cintanya untuk dia, saat ke istri keduanya ya seratus persen juga cintanya. Asalkan sekali lagi dia mampu menafkahi lahir bathinnya saja, dan bisa membuatnya bahagia. Gue meskipun jauh, dan nafkah bathin jarang toh fine-fine aja koq. Karena sekalinya pulang, kan gue bisa habis-habisan ma dia” jelasnya, sambil tertawa lepas. Dan saya pun tak kuasa menahan tawa yang keras. ” Laki lo poligami sekarang, atau nikah lagi disana?” tanyaku penasaran.
Ya meskipun gue udah ngasih izin, kalo misalnya dia mau poligami disana, toch dia sampai sekarang gak berani nikah lagi. Dia malah bilang “Dik mas ngurus kamu satu aja belum sempurna koq, dan gak habis habis” katanya..hehehe” ungkapnya terkekeh.
Dari obrolan teman tadi, saya terus terang mendapatkan pencerahan tentang sesuatu yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan. Lalu saya sering ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman di kantor, dan banyak sekali informasi tentang fenomena “Suami” yang bermain di belakang istrinya. Lebih jelasnya mereka sering melakukan “Zina” di luaran. Bahkan saya sampai pada satu kesimpulan, bahwa mayoritas laki-laki senang berselingkuh, senang memiliki wanita simpanan lain, dan menganggap Zina sebagai sesuatu yang biasa. Naudzubillah.
Wajar lah lalaki mah bangor..asal ulah kanyahoan we! (Wajar Lelaki nakal, asal jangan ketahuan saja)” begitulah kira-kira mantra yang sering diungkapkan oleh mereka. Itulah fenomena “kebohongan” yang seolah dianggap sebagai sesuatu yang biasa.
Saya memiliki pandangan bahwa jika seorang lelaki bermain di belakang istrinya, maka pastilah dia akan senantiasa memelihara praktik kebohongan dalam setiap pembicaraan dan tindakannya. Dia akan berselingkuh dalam segala hal. Dalam berbicara, dia akan sering berbohong, saat enerima sms atau telpon dari “seseorang” diluar sana, lalu istrinya nanya misalnya ” Siapa mas?”, dia pasti akan menjawab ” Teman kantor, pa anu..” dan lain sebagainya. Dalam hal uang, dia juga pasti akan menyediakan alur kas pengeluaran lain untuk biaya operasionalnya bermain di luaran. Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang sekan memberi rasa aman dan cap “Biasa” dengan praktik seperti itulah.
Oleh karena itu, jika melihat fenomena seperti tersebut diatas, maka saya cenderung sepakat dengan sikap kawan SMA saya tadi dalam menyikapi persoalan poligami. Jangan terlalu paranoid dengan persoalan yang memang sudah sangat jelas secara hukum dan aturan mainnya. Apalagi kita meyakini Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seorang mukmin dan muslim. Pengingkaran terhadap pesan itu, adalah pengingkaran juga terhadap Al-Qur’an. Persoalannya adalah tergantung bagaimana seorang laki-laki memandang hukum poligami tersebut, tidaklah semata-mata karena kepentingan nafsu seksual semata, tapi memiliki dasar pijakan yang benar, logis, dan memenuhi prasyarat sebagaimana diperkenankan oleh hukum syari’at.
Karena saya seorang lelaki muslim, saya sangat memahami pandangan kawan saya tadi, dan sampai saat inipun saya tak pernah terpikir untuk berpoligami. Tapi saya bukan orang yang berpegang pada judul diatas ” Poligami Tak Disenangi, Zinah Dianggap Biasa”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar