Minggu, 29 Januari 2012

Akhir 42 Tahun Kekuasaan Khadafy

Malam Jum’at 20 Oktober 2011, hampir semua stasiun televisi menayangkan gambar tewasnya pemimpin Libya Moammar Khadafi. Seorang berpangkat Letkol yang telah berkuasa memimpin negeri kaya minyak Libya selama 42 tahun. Mungkin tak pernah terbayangkan oleh Khadafi bahwa kekuasaannya akan berakhir seperti ini. Dia yang disegani kawan maupun lawan, yang memimpin Libya dengan penuh wibawa dan kuasa, harus melepaskan kekuasaan berikut hembusan nafas terakhirnya di selokan bersampah, dengan luka parah, berdarah-darah, diseret di jalan, karena serangan tentara pemberontak Libya yang tergabung dalam TNC.

Tak pernah terbayangkan dalam benak normal kita, tapi itulah kenyataannya. Bahwa saat Letkol Khadafi merebut kekuasaan dari Raja Idris dengan berpangkat Kapten tahun 1969. akhir pemerintahannya juga harus dengan cara yang sama, pemberontakan bersenjata. Meskipun tak dapat dipungkiri, kejatuhan dan tewasnya Khadafi tidak terlepas dari backup an agresi militer NATO yang membombardir wilayah-wilayah basis pertahanan pasukan loyalis Khadafi, berikut suplai senjata dan amunisi serta logistic lain yang membantu pergerakan pasukan pemberontak, meskipun kita juga harus mengakui bahwa kondisi eksisting rakyat Libya sendiri sudah berada pada titik nadir kebencian dan menginginkan diakhirinya rezim dictator Khadafi yang telah memerintah dengan segenap tangan besi dan terornya.

Dalam beberapa pemberitaan, kita memang mengetahui akhirnya bagaimana kepemimpinan Khadafi, bagaimana system pemerintahan yang dijalankan di Libya, bagaimana gaya hidupnya dan keluarganya, hingga kekayaan yang dimilikinya. Khadafi sadar betul bahwa kekuasaan yang ada digenggaman tangannya bisa langgeng karena cara-cara kepemimpinan yang dijalankannya menyangkut bagaimana memperlakukan militer. Dia melarang berdirinya partai politik, mengawasi secara ketat media elektronik, tak pernah melakukan langkah-langkah yang sifatnya menguatkan keberadaan dan peran militer, yang ada hanya dibuatnya kelompok-kelompok kecil bersenjata, berikut tentara bayaran yang terlatih dengan tujuan utama lebih pada pengamanan diri dan kekuasaannya.

Karakter nyentriknya yang lain, Khadafi menggunakan pasukan elit yang menjadi pengawal khusus pribadinya dengan nama pasukan Amazon, yang terdiri dari perempuan-perempuan cantik yang memiliki keahlian beladiri dan militer. Khadafi tak menyenangi ketinggian, dia tidak suka tinggal atau tidur di gedung bertingkat, dia lebih memilih tidur di tenda khusus. Tak menyenangi terbang berlama-lama dalam ketinggian pesawat apalagi diatas hamparan lautan. Dia memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk senantiasa menggunakan pakaian kebesarannya dengan jubah dan asesoris lainnya baik dalam berhubungan dengan para pemimpin Negara lainnya maupun dalam forum dunia yang dihadirinya.
Khadafi sadar betul bahwa negeri yang dipimpinnya amatlah kaya, dia bisa melakukan apa saja, karena banyak Negara didunia bergantung pada produksi minyak di negaranya, termasuk Amerika dan sekutu baratnya. Dalam diplomasi politik luar negerinya, Khadafi benar-benar mencerminkan karakter pemimpin yang kuat, bahkan boleh jadi Libya merupakan Negara terkuat di benua Afrika yang mampu melawan tekanan barat selama ini. Contoh kasus pemboman yang dilakukan dua orang Libya terhadap pesawat Airbus yang meledak diatas kota Lockerbie Skotlandia yang menewaskan lebih dari 200 orang penumpangnya, Khadafi dengan gentle berani mengatakan bertanggungjawab dan bersedia membayar kompensasi pada korban lebih dari 10 milyar dolar tanpa mau menyerahkan kedua orang pelaku warga Libya tersebut.

Khadafi adalah karakter khas pemimpin negeri Arab Afrika yang memiliki karakter gurun pasir yang keras dan berani. Kekayaan bumi sebagaimana pada umumnya wilayah jazirah Arab ini yaitu potensi minyak yang berlimpah dengan produksi lebih dari 1,3 juta barel per hari, ikut mempengaruhi kestabilan harga minyak di pasar dunia. Apapun yang terjadi dengan kilang minyak di Libya akan senantiasa mempengaruhi harga dan kestabilan suplai minyak dunia. Oleh karenanya, kenyataan ini menjadi factor yang ikut mempengaruhi hidden agenda dari Negara Amerika dan sekutunya yang tergabung dalam NATO untuk menjadikan Libya Negara yang tidak ikut mendikte dunia “Barat” dengan minyaknya, yang oleh Khadafi mampu dimainkan secara sempurna. Sehingga Negara-negara barat termasuk Amerika sekalipun tak memiliki keberanian untuk melakukan invasi militer secara langsung sebagaimana dilakukan terhadap Irak.
Namun demikian, kekuasaan yang sedemikian lama digenggaman, keberlimpahan materi dengan milyaran dollar yang disimpan di berbagai Negara di dunia, termasuk di Prancis, Inggris, Amerika dan Negara lainnya, tak beriring sejalan dengan kesejahteraan rakyatnya, sepertiga rakyat Libya hidup dalam garis kemiskinan, tekanan terror kekuasaan dan senjata yang selama ini dilakukan oleh Libya ternyata melahirkan buncahan gerakan pemberontakan dari rakyatnya sendiri. Seolah terkena effek domino keruntuhan rezim Husni Mubarak di Mesir yang harus jatuh oleh gerakan demonstrasi besar-besaran dari rakyatnya, yang kemudian merembet ke Yaman, Bahrain, Syria, dan Libya sendiri.

Terjadi semacam ledakan kekecewaan di wilayah Timur Tengah dan Negara-negara Arab Afrika lainnya terhadap apa yang terjadi dalam pemerintahan negara-negara tersebut. Dan kita semua tahu, bahwa ada ratusan ribu korban jiwa, mereka jadi martir perubahan, termasuk apa yang terjadi di Libya, lebihnya, mereka berdemonstrasi dengan dukungan senjata sehingga muncul istilah pasukan pemberontak. Ditambah pula sokongan intervensi pasukan barat yang tergabung dalam NATO. Paramiliter atau sipil bersenjata tersebut mendapatkan sokongan negara-negara sekutu NATO tersebut, suplai senjata, dan penghancuran basis kekuatan militer penyangga Moammar Khadafi.

Sehingga satu demi satu kota-kota yang menjadi kekuasaan loyalis Khadafi dapat dikuasai pasukan NTC. Kota Benghazi, Tripoli, Misrata, hingga basis terakhir di kota kelahirannya sendiri Sirte dikuasai pasukan pemberontak. Berbagai asset Khadafi di Istana megahnya, gudang senjata dan amunisi serta artileri dikuasai oleh pasukan pemberontak, serangan udara NATO benar-benar effektif menghancurkan basis-basis kekuatan militer loyalis Khadafi sehingga pasukan pemberontak mampu menaklukannya melalui kontak senjata langsung melalui perang kota dari gedung ke gedung dan gurun bukit yang menjadi penyangganya. Perang kota yang telah berangsung  hampir tjuh bulan itu, kini berakhir di Sirte.

Iring-iringan kendaraan mencurigakan, digempur pasukan udara NATO. Ternyata itu membawa rombongan Khadafi dan pasukan pengawal kecilnya.  Sebagian tewas karena bom pesawat udara NATO, selebihnya yang kabur masuk ke saluran air penuh sampah, terus diburu oleh pasukan pemberontak. Dan ternyata itu sang pemimpin Libya Moammar Khadafi yang selama ini diburu pasukan pemberontak berikut orang-orang terdekat yang setia mengawalnya, akhirnya Khadafi pun dikabarkan tewas ditembak yang mengenai kepala, perut dan bagian tubuh lainnya, berdarah-darah, diseret di jalan dan nafas terakhirnya pun berakhir sudah. Pasukan pemberontak berpesta, rakyat gembira.

Namun dari semuanya itu, kita semua berharap bahwa rakyat Libya bisa memperbaiki keadaan negaranya sendiri, mengamankan sumberdaya alamnya sendiri, jangan sampai peristiwa berakhirnya 42 tahun rezim Khadafi ini, menjadi pintu masuk imperialisme Amerika dan sekutu Baratnya, untuk menguasai kilang-kilang minyak dan menjadikannya pundi-pundi dolarnya. Semoga Khadafi rest in peace disana. Sebagaimana aman dan damainya kehidupan rakyat Libya. Sebagaimana keinginan semua warga bangsa di dunia ini yang menghendaki tak ada lagi peperangan dan angkat senjata, tak ada lagi penjajahan dan pertumpahan darah, tak ada lagi penindasan dan ketidakadilan atas nama apapun, tak ada lagi kesewenang-wenangan negara atas negara maupun negara atas warganya. Bangkitlah Libya. Selamat jalan Moammar Khadafi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar