Minggu, 29 Januari 2012

Perusahaan Leasing, Malaikat Penolong atau Pencabut Nyawa?

Ada beberapa kejadian di Kota Kecilku Tasikmalaya, dimana perusahaan pembiayaan kendaraan bermotor atau  leasing, diserbu kantornya oleh berbagai kelompok masyarakat yang mengatasnamakan LSM atau Ormas tertentu. Kejadian seperti itu cukup berdampak secara psikologis dan ekonomis bagi kondusifitas masyarakat Kota Tasikmalaya, Karena bila terjadi peristiwa demonstrasi kalangan masyarakat terhadap leasing tertentu, tempat usaha di sekitarnya cenderung langsung mengamankan keadaan dengan menutup gerai usahanya.
Hal tersebut kelihatannya berangkat dari pengalaman pahit masa lalu kalangan pelaku usaha, saat terjadi aksi rusuh masa yang meluluh lantakan sentra-sentra bisnis kota, dan melumpuhkan kehidupan ekonomi masyarakat secara lebih luas.
Maraknya perusahaan pembiayaan kredit kepemilikan kendaraan baik roda dua maupun roda empat saat ini, memang sungguh menggembirakan sekaligus menghawatirkan. Pertama keberadaan leasing tersebut dianggap ikut membantu masyarakat dalam hal keinginannya untuk memiliki kendaraan bermotor. Beberapa waktu yang lalu, hanya dengan DP sebesar Rp. 500.000,- Anda dapat memiliki kendaraan tersebut, meskipun harus mencicilnya setiap bulan. meskipun kabarnya, saat ini persoalan DP sudah mulai dirasionalisasi.
Namun demikian, selain kemudahan untuk persoalan kepemilikan motor melalui sistem kredit tersebut, dirasakan adanya persoalan kultural shock, kekagetan budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat menjadi permisif dan menggampangkan dalam hal upaya untuk memenuhi keinginannya tersebut, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang secara ekonominya.
Padahal dengan mengikuti pola pembiayaan kepemilikan kendaraan ala leasing tersebut, masyarakat akan terjerat dalam kubangan cicilan bulanan dengan bunga yang tinggi, terlebih dalam kontrak yang dibuat, masyarakat atau konsumen sering tidak diberi penjelasan secara detail dan lengkap. Karena biasanya sudah terninabobokan dengan kendaraan yang sudah ada teras rumah. Secara hukum, perlindungan konsumen cenderung berada pada posisi yang lemah. Maka tak mengherankan di tengah jalan jika ada kemacetan pembayaran satu atau beberapa bulan, pihak leasing dengan menggunakan jasa pihak ketiga atau debt collector bisa seenaknya mengambil kendaraan dari tangan konsumen tersebut. Bahkan dengan cara-cara yang intimidatif.
Maka tidaklah heran, perkembangannya kini, banyak perusahaan-perusahaan leasing yang dijadikan sapi perahannya kalangan LSM ataupun ormas yang menjadi backing keberlangsungan usahanya. Karena dalam praktek dilapangan, jika terjadi persoalan antara pihak leasing dengan konsumen, ada beberapa kejadian yang berujung pada aksi ribut masa. Terlebih jika sang konsumen meminta perlindungan pada LSM ataupun ormas tertentu. Hal ini tentu berdampak secara luas terhadap kenyamanan berinvestasi dan kondusifitas di kalangan pengusaha.
Kedua, Memang perlu dilakukan perubahan paradigma dikalangan pengusaha leasing itu sendiri, dimana dalam menjalankan usahanya tersebut tidak serta merta hanya berpikir bagaimana menggaet sebanyak-banyaknya nasabah, sementara dalam hal verifikasi dan ketersediaan persyaratan dengan keterbukaan informasi tidak dilakukan secara maksimal. Mungkin pihak leasing perlu mempertimbangkan aspek bunga yang dibebankan pada konsumen, mempertimbangkan bagaimana menghadapi konsumen yang bermasalah, hingga cara dalam hal penyelesaian sengketanya. Jangan sampai Pihak leasing tidak mempertimbangkan ketentuan dan aturan maen menyangkut usaha pembiayaan kredit sebagaimana diatur dalam UU Feducia dan sebagainya.
Harus ada kepastian aturan main, termasuk dalam mengikat perjanjian dengan konsumen. Istilahnya janganlah Konsumen di tipu dengan bahasa-bahasa dalam nota yang dikeluarkan pihak leasing tanpa dipahami sepenuhnya oleh pihak konsumen itu sendiri. Selain itu pula hendaknya ditempuh cara-cara penanganan kasus yang lebih elegan, jangan menggunakan pihak ketiga yang tak memiliki kemampuan komunikasi dan penyelesaian kasus yang baik. Yang hanya mengandalkan kekerasan dan intimidasi yang bersifat fisik dan verbal. Karena ketika terjadi hal tersebut, maka kekhawatiran terjadinya keributan yang bersifat masa sering terjadi.
Selanjutnya, penting kiranya kalangan pengusaha leasing tersebut menerapkan program cost sosial responsibilitynya. Karena dengan pola itu, tentu akan dirasakan kepedulian dan manfaat kehadiran leasing tersebut dari sisi soasialnya. Jangan hanya untuk kalangan backing dari LSM, aparat atau ormas yang justru akibatnya terjadi bentrok antar kalangan ormas dan LSM itu sendiri.
Jangan sampai, keuntungan dan fee yang besar dari di acc nya sebuah aplikasi kredit,  hanya untuk marketingnya, yang kebanyakan digunakan untuk aksi hura-hura, hiburan, dan main perempuan. Sudah sangat umum diketahui publik, termasuk info dari beberapa kawan saya yang bekerja di perusahaan pembiayaan tersebut, bahwa kalangan pegawai leasing itu berupaya seluas-luasnya mendapatkan nasabah, karena pendapatan terbesarnya justru dari fee acc aplikasi, mendapatkan uang yang mudah dan cepat dalam jumlah yang besar, meskipun mereka sendiri mengakui juga sebagai uang panas, makanya lebih banyak di pakai untuk hiburan wa ashabihi, tanpa berfikir persoalan yang akan terjadi di belakangnya antara konsumen dengan perusahaan.
Kita berharap, keberadaan leasing dibenahi, pola dan aturan mainnya serta manajemen SDM nya. Sehingga jangan sampai perusahaan leasing tersebut menjadi sumbu pendek akan terjadinya keributan dan huru-hara dikalangan masyarakat, yang merugikan kehidupan masyarakat secara lebih luas.
Perusahaan Leasing, Menjadi malaikat penolong, atau pencabut “nyawa”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar