Minggu, 29 Januari 2012

KH. Hasyim Muzadi Dan Islam Rahmatan Lil’Alamiin

Kehadiran mantan Ketua Umum PBNU dua periode KH. Hasyim Muzadi di Kota Tasikmalaya dalam rangka menghadiri sebuah acara dan memberikan ceramah di Mesjid Agung, Kamis 19/1/2012 kemarin cukup memberikan pencerahan bagi masyarakat Kota Tasikmalaya khususnya jama’ah Nahdlatul Ulama. Dengan bernas Mbah Hasyim membedah seputar masalah Islam Rahmatan Lil’alamiin dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, sebuah tema khas yang menjadi trade mark NU. Jika orang diluar NU membicarakan Islam itu penuh dengan slogan, jargon dan teriakan, maka ulama dan kiai NU selalu dengan pespektif yang lain. Apa sajakah pesan penting dengan kehadiran Mbah Hasyim ini bagi ummat Islam dan NU pada khususnya serta masyarakat Kota Tasikmalaya, sayang rasanya kalau tidak kita record dan sampaikan dalam bentuk analisis report lebih lanjut.
Pesan Islam Rahmatan Lil’Alamiin
Pesan pertama yang penulis tangkap dari apa yang disampaikan oleh Mbah Hasyim adalah pentingnya untuk terus menerus menjaga dan memelihara serta membumikan Ajaran Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin. Substansi ajaran Islam sesuai dengan makna kata Islam itu sendiri adalah damai dan selamat. Orang yang mengaku beragama Islam haruslah senantiasa menunjukan jiwanya yang damai, damai dengan dirinya, damai dengan sesame ummat Islam dan damai dengan sesame ummat manusia. Keadaan jiwanya yang damai tersebut berasal dari makna islam itu sendiri yaitu menyerahkan sepenuhnya diri, jasad dan pikirnya kepada dan dalam genggaman tangan Kuasa Tuhan. Bukan berarti pasrah yang dimaknai tak berbuat apa-apa, tapi kepasrahan total dalam bentuk keyakinan diri sebagaimana dalam setiap sholat kita baca “Inna Shalati wanusuki wamahyaya wa mamati lillaahi rabbil ‘alamiin,” sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata.
Manusia yang mengaku Islam harus memiliki jiwa dan karakter pribadi yang “pasrah”, damai dan mendamaikan, serta selamat dan menyelamatkan, bukan karakter pribadi yang sombong, kasar, keras dan menyenangi kekerasan serta keributan. Kebenaran yang bersumberkan dari ajaran utama Islam adalah pesan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin) karena dalam diri Tuhan itu sendiri melekat asma Rahman dan Rahim yang merangkum keseluruhan 99 asma nya Allah yang dikenal dengan al-asma’ul khusna. Bagi kalangan Ulama dan Jama’ah NU, Ajaran Islam tersebut terangkum dalam tiga hal yaitu Aqidah, Syari’at, Mu’amalah.
Dalam hal aqidah berpegang pada ajaran ahlussunah wal jama’ah dengan mengikuti pemahaman Imam Asy’ari dan Imam Al-Maturidi. Sementara dalam hal syari’at berpegang pada satu dari empat madzhab fiqh mu’tabarah yaitu Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam syafi’ie, dan Imam Hambali. Sedangkan untuk akhlaq tasawuf merujuk pada pemahaman ajaran sebagaimana diajarkan oleh Syech Abdul Qadir Jaelani, Syech Junaed Al-Baghdadi serta Imam Al-Ghazali. Kesemuanya merujuk pada sumber hukum pokok yaitu Al-Qur’an, Sunnah/Hadist Rasul, Ijma dan Qiyas. Dengan itulah jama’ah NU memahami dan menjalani dua relasi hubungan, yaitu hablum minallah, mengatur bagaimana relasi vertikalnya dengan Allah, dan Hablum Minannas mengatur bagaimana relasi secara horizontal dengan sesama manusia dan mahluk Tuhan lainnya.
Dalam konteks mu’amalah inilah Mbah Hasyim Muzadi memberikan pencerahannya bagi kita warga Kota Tasikmalaya dalam Tablig Akbar kemarin dengan Tema “Mewujudkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin-Menolak Kekerasan’. Tentu dari temanya saja kita sudah bisa menangkap angel yang menjadi tujuan utama serta pesan inti dari Ceramahnya Mbah Hasyim tersebut, yaitu bagaimana mewujudkan nilai-nilai Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam dan menghindari setiap bentuk kekerasan. Hal ini diimplementasikan dalam tiga konsep ukhuwah yang senantiasa harus dijaga oleh ummat Islam di Indonesia. Yaitu ukhuwah Islamiah, ukhuwah wathaniah, ukhuwah basyariah.
Dalam ukhuwah Islamiah atau persaudaraan sesama ummat Islam, setiap ummat Islam haruslah senantiasa menjaga persaudaraannya dengan sesama ummat Islam lainnya. Jangan karena adanya perbedaan madzhab kalam, madzhab fiqh, perbedaan sudut pandang atau tafsir terhadap ayat, memunculkan pertentangan sengit yang saling meng kafirkan, saling memaksakan tafsir kebenarannya sendiri. Seharusnya yang paling pokok adalah bagaimana kita menjaga persaudaraan kita sebagai sesama muslim, dengan tidak saling hujat, saling caci dan maki, apalagi mengancam keselamatan jiwa, harta dan keluarganya. Dalam hal tafsir kebenaran, ada baiknya kita renungkan ungkapan Imam Syafi’I yang mengatakan “Pendapat anda benar, tapi Mungkin saja mengandung kesalahan, Pendapat saya salah, tapi mungkin saja mengandung kebenaran”. Oleh karenanya jangan sekali-kali meyakinkan diri bahwa pendapat kitalah yang paling benar, karena hanya Milik Allah lah kebenaran sejati.
Sementara itu ukhuwah wathaniyah mengatur persaudaraan kita sebagai muslim dan sebagai warga bangsa Indonesia. Kita hidup bukan di dalam Negara agama, kita hidup di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, didalamnya diakui keberadaan beberapa agama berikut pengikutnya. NKRI menghormati kebebasan ummat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajarannya masing-masing sebagaimana diatur dalam konstitusi kenegaraan kita.
Pancasila sebagai dasar Negara memang bukan ajaran Islam, Tapi ummat Islam melalui tokoh-tokoh agamanya yang dulu termasuk founding fathers ikut membidani Kelahiran Pancasila dan UUD’45. Pancasila menjadi produk kesepakatan bersama para pendiri bangsa ini yang mampu mempersatukan NKRI dalam bhineka tunggal ika. Dengan kenyataan inilah, dalam kedudukannya sebagai warga Negara Indonesia tak ada istilah warga Negara kelas satu atau kelas utama. Semua warga Negara sama kedudukannya dimata hukum positif Negara, dari sinilah kita harus selalu menjaga dan meningkatkan terus ukhuwah wathaniah atau persaudaraan sebagai sesama warga bangsa, apapun agama, suku, bahasa dan budayanya.
Cerminan Islam rahmatan lil alamin yang ketiga adalah menjaga ukhuwah basyariah, persaudaraan sesama manusia. Hakikat paling dasar akan keberadaan ummat manusia di muka bumi ini adalah semua ciptaanNya. Bukankah langit, bumi beserta segala isinya baik manusia, hewan, tumbuhan dan merupakan ciptaan Allah SWT? Sebagai manusia pun, bukankah semua manusia awal penciptaannya dari satu orang Adam alaihissalam? Maka pada hakikatnya tentu semua manusia, dibelahan bumi manapun dia hidup, sesungguhnya mereka adalah saudara kita sesame manusia ciptaan Allah SWT. Oleh karenanya jangan sampai antar sesama manusia kita saling mendzalimi, saling merampas hak yang bukan sepatutnya, saling mengganggu keamanan, dan keselamatan jiwanya. Al-Qur’an mengajarkan bahwa tidak layak satu orang manusia membunuh satu nyawa manusia yang lain, karena hal itu hakikatnya telah membunuh seluruh ummat manusia. Ini menunjukan betapa Tuhan bertanggungjawab akan setiap ciptaannya, dan tak ada hak sama-sekali sesame mahluk mengambil kehidupan atau nyawa mahluk yang lain. Dari sinilah mengapa Islam disebut sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, Rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya rahmatan lil muslimin, ataupun rahmatan lil Arabiyyin, maupun rahmatan lil Indonesiyyin. Tapi Islam rahmat untuk seluruh alam semesta beserta isinya. Rahmat yang universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar